translate languages

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

13 Jul 2010

Ketika kehilangan...

Laurie Johnson seorang warga negara US, seorang ibu yang kehilangan suami dan anaknya pada sebuah kecelakaan pesawat. Suatu kisah yang sangat menyedihkan, tapi menjadi kisah yang memberkati banyak orang.

Laurie Johnson ketika masih muda selalu berpikir bahwa selama dia taat pada peraturan dan taat kepada Tuhan, maka dia akan menerima kehidupan yang bahagia sampai akhir hidupnya. Untuk beberapa waktu lamanya, berkat dan kebahagiaan mengisi kehidupan Laurie. Dia kemudian menikah dengan Clyde, yang adalah pacarnya dari sejak kuliah.

Setelah menikah beberapa tahun, akhirnya dia bisa mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Macallan ” Kami bertiga menjadi trio dan sepertinya kami tidak memerlukan apa-apa lagi ” kata Laurie. Pada tahun 2002, Macallan anak mereka satu-satunya berusia 2 tahun. Untuk merayakan hari jadi Macallan, Laurie dan Clyde meminta teman mereka untuk menerbangkan mereka ke Idaho. Macallan sangat bahagia dan begitu energik, dia berlari-lari berkeliling dengan kacamata hitamnya dan topi baseball mungilnya.

Mereka pun terbang dan memasuki awan untuk menuju ke Idaho untuk merayakan hari jadi Macallan yang ke 2 tahun. Tapi setelah 15 menit mengudara tiba-tiba sesuatu yang buruk mulai terjadi. Dalam hati Laurie merasa kalau penerbangan mereka ada masalah, ada sesuatu yang tidak beres. Ketika dia melihat ke luar jendela pesawat, dia melihat sepertinya mereka terlalu dekat dengan ujung pepohonan dan sepertinya mereka akan menabrak gunung yang ada di depan mereka “saya bahkan tidak sempat berpikir apa yang sedang terjadi” kata Laurie “saya sangat terpaku, saya ingat mendengar Macallan, dia hannya menangis dan tangisannya adalah tangisan ketakutan dan itu membuat saya tambah panik.” Pesawat kecil yang mereka tumpangi mulai kehilangan ketinggian dengan sangat cepat, dan akhirnya menabrak bumi, dan meledak…. “saya bisa merasakan panasnya api” ingat Laurie “saya tahu kalau kami harus berusaha keluar.

Saya ingat dalam kepanikan yang luar bisa saya seperti menjadi gila, dan mulai berteriak, ‘ambil bayi saya!’” Clyde berusaha melompat ke panasnya api yang sementara berkobar di dalam badan pesawat untuk menyelamatkan Macallan. Laurie berteriak untuk anaknya, namun ketika suaminya Clyde kembali dia mengatakan, “maaf tapi saya tidak bisa mengeluarkan dan menyelamatkannya” Saat Laurie terkapar di tanah, di samping pesawat itu, dia mengatakan kalau dia hannya bisa menatap Macallan anaknya yang terikat di kursi mobil-mobilannya yang sementara terpanggang. Mungin dia telah meninggal sesaat setelah pesawat jatuh. Tergeletak di daerah terpencil si pilot meninggalkan mereka untuk mencari pertolongan.

Clyde menderita luka bakar lebih dari 75% di tubuhnya. 5 jam kemudian akhirnya perolongan datang “kami diangkat ke helikopter penyelamat, dan ada seorang laki-laki yang duduk di situ, dan kepalanya terlihat besar seperti buah labu.” kata Laurie “kemudian pria itu mulai melambaikan lemah tangannya ke arahku, seketika itu akupun sadar, ‘astaga itu Clyde’ saya bahkan sudah tidak mengenalnya lagi. Saya menatapnya dan dari mulutnya yang lemah dia mengatakan ‘aku sayang kamu’ itulah kata-kata terakhir yang saya dengar dari Clyde.” Dalam satu hari yang tragis, Laurie kehilangan anak dan suaminya sekaligus. Dia sendiri berhasil selamat namun dengan patah-patah di tulang kakinya. Setelah kehilangan keluarganya Laurie bergumul dengan keinginan dan dorongan untuk bunuh diri. “ada hari-hari ketika saya memohon untuk mati saja,” katannya “saya tidak dapat hidup tanpa mereka. Dan saya ingat kalau saya begitu marah sama Tuhan dan bertannya kepadaNya, ‘ kenapa Kau harus mengambil mereka berdua?” Untuk memulihkan kakinya yang patah Laurie harus melewati beberapa kalo operasi.

Setiap kali selesai operasi dia merasa kalau dia sangat emosian, sangat cepat marah dan sangat putus asa. “saya berpikir, ‘apakah saya akan terlepas dari lingkaran ini? Apakah saya akan sembuh?” Seiring waktu berlalu, Laurie memutuskan bahwa bunuh diri bukanlah sebuah jawaban. “saya tahu hidup saya bukanlah saya yang akan mengakhirinya. Hidup adalah pemberian, anugrah bagiku, dan bukanlah milikku sehingga aku berhak mengambilnya” kata Laurie “orang-orang disekitarku juga sudah sangat menderita … aku pikir aku tidak bisa lagi menambah beban mereka”

Laurie berkata kalau dia sangat marah kepada Tuhan selama 1 tahun setengah. Kemudian dia memutuskan untuk merubah cara dia memandang kehidupannya. Daripada menahan duka dan amarahnya, Laurie jujur kepada dirinya “aku pikir ‘kenapa tidak bisa marah?’ apa yang akan Tuhan lakukan kepada saya? “ katanya “ itu (melepas kemarahan) memberikan rasa bebas untuk merasakan apa yang seharusnya saya rasakan dan tetap melangkah ke mana saya harus melangkah” Kemudian Laurie mulai menyadari kalau dia jangan hanya memikirkan apa yang sudah diambil darinya, tapi juga apa yang sudah diberikan kepadanya, apa yang sudah didapat.

Laurie memutuskan untuk berfokus pada anugrah, berkat yang diterimanya “aku sudah dikaruniakan kehidupan yang luar biasa” katanya “aku telah memiliki anak laki-laki yang hebat, aku telah memiliki pernikahan yang indah, aku telah memiliki hidup yang luar biasa. Untuk duduk terpaku merengung akan kepedihan, untuk marah akan apa yang terjadi, itu hanya akan menyangkal akan keindahan hidup yang pernah dan telah aku lewati bersama dengan mereka” Laurie juga belajar untuk memaafkan. Ketika badan keselamatan transportasi US menyimpulkan bahwa penyebab kecelakaan pesawat yang menewaskan suami dan anaknya itu adalah karena kesalaan pilot, dia bergumul dengan perasaannya dia berkata “Pengampunan, aku percaya adalah sesuatu yang kita berikan bagi diri kita, itu adalah pilihan yang kita buat, dan itu membebaskan saya dari kedengkian dan kemarahan. Itu bukan berarti saya tidak marah, itu bukan berarti saya tidak cemburu dengan dia dan keluarganya. Tapi sekali lagi saya hannya bergumul, dengan emosi, persaan saya.”

Following the crash, Laurie was on crutches for two years. Since then, she has created something positive from her tragic experience—LemonAid, a company that creates designer crutches. Fifty percent of all profits are donated to Step With Hope, a foundation dedicated to helping people cope with profound loss. She also has a fresh outlook on life. “Instead of living this life of expectation and rules and formulas, I feel like I live this life of curiosity,” Laurie says. “I have no clue what’s going to happen tomorrow, so I just take this moment to be here. To meet the people I get to meet. To be surrounded by the events and the experiences.” ………………………………….

Satu hal yang aku belajar dari kisah Laurie……… janganlah kita terfokus memikirkan apa yang telah diambil dari kita, tapi apa yang sudah kita dapatkan selama kita hidup, seperti kesehatan, damai sejahtera, dan hal-hal yang indah yang bisa kita nikmati, yang merupakan anugrah dari Tuhan. Jujurlah pada diri kita, dan belajarlah berserah dan mengampuni untuk setiap hal yang kita hadapi dan lewati …..

semoga cerita ini bisa menjadi kekuatan bagi kita semua, terlebih bagi orang-orang yang terluka karena kehilanggan orang-orang yang sangat disayangi ….. ingatlah satu hal, bahwa ada 1 Pribadi yang akan selalu menyertai, menemani, menghibur, dan sangat mengasihi kita. Dialah Kristus yang sudah terlebih dulu mengasihi setiap kita manusia…..

Kitab 1 Korintus 10 : 13 Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.

maspeypah
  • Digg
  • Facebook
  • Google
  • StumbleUpon
  • TwitThis

Artikel Menarik Lainnya



Komentar :

ada 0 comment ke “Ketika kehilangan...”

Posting Komentar