sebuah kisah nyata yang pernah diungkap oleh media TEMPO (redaksi terkemuka di indonesia setelah kompas)
DAERAH itu bernama Gudang Tama. Dulu, pada 1950-an, kawasan yang letaknya sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Singkawang itu merupakan pabrik pengasapan karet. Tama adalah nama seorang juragan karet etnis Cina yang membuka usaha di daerah itu. Perusahaannya terhitung maju sebelum pecah Gerakan 30 September 1965. Tama punya beberapa gedung di daerah pusat Kota Singkawang-ketika itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Sambas-yang bekas-bekasnya masih ada hingga saat ini. Bangunan-bangunan miliknya, yang entah bagaimana status kepemilikannya kini-menjadi sarang burung walet.
Kekayaan keluarga Tama memang tinggal kenangan. Begitu juga keluarga-keluarga yang dulu pernah memiliki usaha dagang di Singkawang. Menurut F.X. Asali, tokoh masyarakat Cina di Kalimantan Barat yang baru menerima Pluralisme Award, keluarga kaya yang sudah memiliki usaha dagang, seperti kopra, karet, garam, dan impor beras, sebagian besar tak terlacak setelah buntut dari "pembersihan" orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia setelah Gerakan 30 September 1965. Asali sendiri, yang di masa bergolak itu bekerja sebagai wali Direktur Sinar Kapuas, perusahaan yang bergerak di bidang impor beras dan ekspor kopra, dua kali diinterogasi tentara. Adapun bosnya, yang etnis Cina, memilih pergi ke luar negeri.
DAERAH itu bernama Gudang Tama. Dulu, pada 1950-an, kawasan yang letaknya sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Singkawang itu merupakan pabrik pengasapan karet. Tama adalah nama seorang juragan karet etnis Cina yang membuka usaha di daerah itu. Perusahaannya terhitung maju sebelum pecah Gerakan 30 September 1965. Tama punya beberapa gedung di daerah pusat Kota Singkawang-ketika itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Sambas-yang bekas-bekasnya masih ada hingga saat ini. Bangunan-bangunan miliknya, yang entah bagaimana status kepemilikannya kini-menjadi sarang burung walet.
Kekayaan keluarga Tama memang tinggal kenangan. Begitu juga keluarga-keluarga yang dulu pernah memiliki usaha dagang di Singkawang. Menurut F.X. Asali, tokoh masyarakat Cina di Kalimantan Barat yang baru menerima Pluralisme Award, keluarga kaya yang sudah memiliki usaha dagang, seperti kopra, karet, garam, dan impor beras, sebagian besar tak terlacak setelah buntut dari "pembersihan" orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia setelah Gerakan 30 September 1965. Asali sendiri, yang di masa bergolak itu bekerja sebagai wali Direktur Sinar Kapuas, perusahaan yang bergerak di bidang impor beras dan ekspor kopra, dua kali diinterogasi tentara. Adapun bosnya, yang etnis Cina, memilih pergi ke luar negeri.
Bagi orang-orang yang mampu-rata-rata pedagang-mereka bisa punya pilihan meninggalkan Indonesia setelah 1966. Namun, bagi sebagian besar warga Cina, mereka harus terusir dari kampung-kampung tempat mereka tinggal berbaur dengan etnis Dayak dan Melayu. Bahkan banyak yang sudah menikah dengan etnis Dayak dan Melayu. Bagi yang menikah, harus meninggalkan keluarga, karena hampir semua warga Cina dilabeli cap PKI.
Warga etnis Cina itu digiring masuk kota akibat pergolakan rakyat di Semelantan, daerah antara Singkawang dan Bengkayang, setelah 1966. Ketika itu warga Dayak menyerang etnis Cina karena provokasi tentara. "Ada yang satu desa penduduknya dibunuh," kisah Asali. "Ribuan pengungsi masuk kota, datang hanya dengan pakaian melekat di badan."
Singkawang pun menjadi penjara kota di masa itu. "Untuk bepergian dibutuhkan surat izin dari tentara," kisah Po Sun Tzet, pengurus beberapa Pe Kong yang kini berusia 70-an tahun. Suasana mencekam, orang sewaktu-waktu bisa ditangkap dan "hilang". Warga Cina dianggap sebagai pengungsi. Mereka ditempatkan di daerah-daerah seperti Kaliasin, Lirang, Kopisan, dan Gudang Tama.
Keturunan orang-orang yang terusir itu masih tinggal di daerah tersebut. Djong Sau Khi, 52 tahun, dan Chu Jun Sen, 25 tahun, adalah penduduk Gudang Tama. Khi adalah ketua rukun tetangga di sana. Ketika ditemui Tempo, Senin, 1 Maret lalu, di rumahnya, Khi, generasi kedua yang tinggal di Gudang Tama, bercerita, ketika dia dan orang tuanya datang hanya berbekal dua papan kayu untuk membangun rumah. Daerah Gudang Tama dijaga tentara. Tidak ada pekerjaan, kecuali menjadi buruh serabutan. Tidak ada pula kartu identitas, seperti kartu tanda penduduk dan akta kelahiran. "Sampai saat ini, saya tetap tidak tahu bagaimana status tanah tempat tinggal di sini," kata Khi, yang ayahnya meninggal pada 1993 dan disusul ibunya pada 2006.
Di masa Orde Baru, semua penduduk di Gudang Tama wajib memilih Golkar. Khi menunjuk jalan sempit aspal yang sudah banyak bolong dan bilang bahwa jalan itu dibangun karena warga memilih Golkar. Namun, setelah reformasi, Khi mengaku tidak terlalu banyak perbaikan. "Kampung ini dijadikan tempat kampanye partai-partai, tapi setelah itu tak ada hasilnya," dia berkisah.
"Sekolah pun masih sulit sampai sekarang," katanya. Menurut Khi, banyak anak Gudang Tama yang sulit masuk sekolah dasar. Umur delapan atau sembilan tahun mereka baru diterima. Seperti anak perempuan Khi yang masuk SD di usia delapan tahun. Adapun Chu Jun Sen tidak tamat SD dan kini menjadi tukang ojek. Sen, yang lahir jauh dari 1966, tidak tahu-menahu mengapa dia masih sulit memperoleh kartu identitas.
Daerah Gudang Tama memang masih dipenuhi rumah sederhana, bahkan ada yang terbuat dari daun rumbia. Kawasan dengan jalan sempit-selebar 1,5 meter-itu menanjak, dan memiliki cabang gang-gang kecil. Kondisinya jauh lebih buruk dibanding hunian di tengah kota. Pekerjaan mereka serabutan. Paling mapan adalah pekerjaan seperti Khi, yaitu membuka warung. Saat seperti Imlek, Cap Go Meh, dan kampanye merupakan masa keberuntungan penduduk Gudang Tama. Sebab, saat itu mengalir rezeki bagi mereka, mulai angpau, bahan kebutuhan pokok, hingga kaus bersponsor macam-macam.
Menurut Po Sun Tzet, kemiskinan warga Cina terkait dengan perlakuan pada masa lalu, yaitu di masa pengusiran ke kota. "Mereka tidak punya pekerjaan dan kartu identitas," kata Tzet, yang punya nama lain Andrew Soewardi. Dengan demikian, etnis Cina ini bekerja sebagai tenaga kasar, dan diberi upah berapa pun mau. Mereka tidak berani memprotes karena takut. Hingga 1970-an masih ada saja penduduk Cina yang tiba-tiba diambil tentara dan diinterogasi di kamp tahanan tentara.
Hingga generasi ketiga sejak 1966, "warisan" akibat perlakuan penguasa Orde Baru menumpas komunis masih terasa hingga kini. Selain miskin dan tanpa identitas, warga Cina dikungkung rasa tidak percaya diri. "Mungkin mereka merasa sudah takdirnya menjadi miskin," kata Nusantyo Setiadi, yang punya perhatian pada ketidakjelasan nasib warga Singkawang tersebut. Nusantyo, yang ayahnya dua kali diinterogasi tentara karena hal yang tidak jelas, merasa trauma itu masih tersisa hingga kini.
Anak muda perempuan dan laki-laki di usia belasan dan 20-an masih harus terkena getah dari pengusiran kakek-nenek mereka. Bisa dilihat di Pasar Turi, pasar tradisional di Singkawang. Di sana banyak remaja laki-laki yang hanya tamat SD atau jebolan sekolah menengah pertama berdagang di pasar. Mereka-hanya menyebut diri dengan nama panggilan, seperti Aseng, Acing, dan Asung-sudah punya "karier" tetap berdagang di pasar, menjadi pembuat tahu, dan buruh di pabrik keramik. "Ah, mana bisa sekolah lagi," kata Aseng, penjual ikan peda khas Singkawang di Pasar Turi.
Karena kemiskinan pulalah, sebutan Singkawang sebagai "Kota Amoy" muncul. Kisahnya bermula pada awal 1970-an. Ketika itu ada beberapa tentara tua Taiwan yang menjelang pensiun mencari istri di Singkawang. Tentara itu baru saja terusir dari Cina Daratan karena Kuo Min Tang kalah oleh komunis. Mereka punya masalah, yaitu tidak mendapat uang pensiun dari negara bila tidak berkeluarga. Maka diambillah perempuan Singkawang yang rata-rata juga sudah berumur dan punya anak sebagai istri.
"Mulanya perkawinan wanita Singkawang dengan lelaki Taiwan berlangsung baik, saling menguntungkan," kisah Cong Bui Siam, 83 tahun, warga Singkawang. Menurut Siam, perempuan Singkawang ketika itu dikenal rajin bekerja. Selain mengurus suami dan anak, mereka masih membuat kerajinan tangan. Maka mereka bisa mengirim banyak uang ke keluarga mereka yang miskin di Singkawang. "Perubahan status ekonomi pun mulai kelihatan," kata Siam.
Namun belakangan, sekitar 1990, model perkawinan antarnegara mulai berubah. Bermunculan agen. Juga banyak laki-laki Taiwan yang tidak beriktikad baik yang mencari perempuan di sini. Di sinilah dimulai "jual-beli" gadis-gadis etnis Cina.
Kata orang, kalau ingin melihat etnis Cina miskin, lihatlah di Singkawang. Itu memang benar. Bagi warga tua, seperti Po Sun Tzet, anak-anak muda miskin yang menjadi pengangguran itu makin mengkhawatirkannya. Belakangan cukup sering rumahnya didatangi preman yang minta uang dengan memaksa. Mereka bahkan berani langsung masuk ke rumah bila pintu terbuka. Maklumlah, di Singkawang warga masih terbiasa membuka pintu rumah. Dari mulut pemuda itu bau alkohol masih tercium. "Dulu mereka masih mau bekerja serabutan. Sekarang mulai banyak yang malas dan kerjanya minum dan minta uang," kata Po.
mohon yang saya tag membacanya
terima kasih
Komentar :
Posting Komentar