Kisah ini diambil dari sebuah kisah nyata di era tahun 1960an di Pontianak dan diceritakan secara turun temurun dari generasi Pho Pho (mamanya mama) hingga kepadaku. Semoga bermanfaat.
Sebut saja nama anak lelaki itu A Siang. Dia seorang anak berumur 8 tahun dan masih duduk di bangku SD kelas 2. Dia seorang anak yatim piatu, ibunya meninggal ketika melahirkannya dan ayahnya menikah lagi. Namun ayahnya juga meninggal karena sakit beberapa bulan yang lalu.
A Siang tinggal di sebuah kota kecil di Pontianak, bersama dengan ibu tirinya. Ayahnya menikah lagi ketika ibunya meninggal dan dari istri barunya itu, dia dikaruniai seorang anak lelaki yang berbeda 1 tahun dengan A Siang. Sebut saja namanya A Kwang, umurnya 7 tahun dan duduk di bangku SD kelas 1.
Semasa ayahnya masih hidup, mama tirinya menyayangi A Siang. Apapun yang A Kwang dapat, A Siang pun dapat. Begitu pula sebaliknya. Namun sepeninggal ayahnya, sifat asli mama tirinya muncul. Hampir tiap hari A Siang selalu mendapat perlakuan buruk yang sangat berbeda dengan yang didapat oleh A Kwang.
Sebut saja nama anak lelaki itu A Siang. Dia seorang anak berumur 8 tahun dan masih duduk di bangku SD kelas 2. Dia seorang anak yatim piatu, ibunya meninggal ketika melahirkannya dan ayahnya menikah lagi. Namun ayahnya juga meninggal karena sakit beberapa bulan yang lalu.
A Siang tinggal di sebuah kota kecil di Pontianak, bersama dengan ibu tirinya. Ayahnya menikah lagi ketika ibunya meninggal dan dari istri barunya itu, dia dikaruniai seorang anak lelaki yang berbeda 1 tahun dengan A Siang. Sebut saja namanya A Kwang, umurnya 7 tahun dan duduk di bangku SD kelas 1.
Semasa ayahnya masih hidup, mama tirinya menyayangi A Siang. Apapun yang A Kwang dapat, A Siang pun dapat. Begitu pula sebaliknya. Namun sepeninggal ayahnya, sifat asli mama tirinya muncul. Hampir tiap hari A Siang selalu mendapat perlakuan buruk yang sangat berbeda dengan yang didapat oleh A Kwang.
A Siang dan A Kwang bersekolah di tempat yang sama. Setiap hari mereka berdua selalu dibekali makan siang oleh mama mereka. Menu yang semestinya sama antara A Siang dan A Kwang, sejak sepeninggal ayahnya, A Siang selalu mendapatkan menu yang berbeda dengan saudara tirinya itu.
Memang setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, mereka berdua selalu diberikan sarapan pagi. Bila A Kwang mendapatkan menu lezat setiap paginya, A Siang setiap hari selalu mendapatkan menu yang sama: nasi goreng. Bahkan termasuk menu yang dibawanya ke sekolah setiap hari: nasi goreng.
Sempat A Kwang mengajukan protes kepada mamanya karena mamanya tak pernah menghidangkan nasi goreng kepadanya, sedangkan kepada A Siang menunya selalu tidak lepas dari nasi goreng.
"A Kwang, anakku. Maafkan mama ya. Bukannya mama tidak mau memasakkanmu nasi goreng. Tapi nasi goreng itu kan panas, apalagi kalau mama menggorengnya dengan daging kambing. Maksud mama memberinya dia nasi goreng setiap hari adalah supaya dia lama kelamaan panas dalam dan akhirnya meninggal." jelas mamanya kepada A Kwang.
Akhirnya A Kwang bisa menerima dan mengerti maksud mamanya memperlakukannya berbeda.
A Siang sendiri tak pernah bertanya kenapa mama tirinya selalu memberikannya menu nasi goreng mulai dari sarapan hingga menu makan siang di sekolah. Menu makan malam mereka tak jauh berbeda, hanya sarapan pagi dan makan siang yang selalu berbeda.
Suatu hari, kebiasaan A Siang membawa nasi goreng ke sekolah untuk makan siang mendapat perhatian gurunya. Dia pun bertanya kepada A Siang mengapa setiap hari dia selalu makan nasi goreng. A Siang menjawab kalau dia diberikan makan menu yang sama oleh mama tirinya sejak papanya meninggal.
Sang guru hanya geleng-geleng kepala dan karena dia mengerti tak mungkin meminta mama tiri A Siang untuk mengganti menunya, karena dia mengerti niat jahat mama tirinya A Siang, maka sang guru berkata,
"Setiap pagi setelah kamu datang ke sekolah ini, kamu mampirlah ke ruang guru dan temui saya. Di meja saya akan saya hidangkan secangkir teh pahit untukmu. Habiskan teh itu sebelum memulai pelajaranmu di kelas. Dan setiap selesai makan siang, kamu kembali lagi ke meja saya. Saya akan hidangkan secangkir teh pahit lagi untukmu. Habiskan sebelum kamu melanjutkan pelajaranmu."
A Siang menuruti kemauan gurunya itu. Dan semua itu dilakukannya tanpa ketahuan A Kwang, saudara tirinya.
Sebulan, dua bulan, berlalu. Mama tirinya kaget dan tidak percaya ketika menyadari A Siang masih saja sehat dan tidak pernah menderita sakit, khususnya sakit panas dalam. Namun sebaliknya, A Siang malah semakin gemuk badannya.
Pikirannya yang semula jahat menjadi berubah tamak. Dia mengira nasi goreng bisa membuat seseorang menjadi gemuk. Dan mulai hari itu, dia memberikan menu yang sama kepada A Kwang, anaknya, mulai dari sarapan pagi hingga makan siang.
Sebulan, dua bulan, berlalu. A Kwang mulai batuk, sering pusing kepala dan badannya sering meriang karena panas. Namun mamanya masih tetap memberikannya nasi goreng dengan harapan anaknya akan menjadi segemuk A Siang. Hingga akhirnya A Kwang meninggal karena sakit panas dalam yang dideritanya tak tercegah lagi dan mencapai puncaknya.
Dia tidak mengetahui bahwa A Siang selalu meminum teh kental pahit buatan gurunya setiap selesai makan nasi goreng, karena teh kental pahit bisa menetralisir lemak dan panas yang diberikan oleh nasi goreng. Sehingga harapan yang diinginkannya terjadi pada A Siang tidak terlaksana dan tercegah oleh secangkir teh setiap selesai makan nasi goreng dan malah akibat tersebut mengenai ke anak kandungnya sendiri.
Baru setelah kepergian A Kwang, sang guru datang ke rumah mereka dan menjelaskan semuanya. Setelah kejadian itu, mama tiri A Siang sangat menyesal dan dia akhirnya menerima A Siang sebagai anaknya sendiri dan mereka hidup bahagia. Sejak hari itu tak ada lagi nasi goreng yang dihidangkan olehnya kepada A Siang.
Hikmah yang bisa dipetik dari kisah nyata ini adalah:
1. Janganlah berbuat jahat karena akan terkena karma buruk.
2. Janganlah tamak karena ketamakan akan membawa penderitaan.
3. Tak selamanya orang yang berbuat jahat itu sukses karena kebenaran pada akhirnya akan menang.
4. Tak selamanya pula orang yang baik dan polos itu menjadi sasaran empuk kejahatan, karena orang-orang seperti itu pasti akan ada penolongnya.
5. Orang berbuat baik, walau belum mendapat pahala tapi penderitaan telah menjauhinya. Sebaliknya orang berbuat jahat, walau belum mendapat pembalasan, namun keberuntungan telah menjauhinya.
Semoga kisah nyata yang sudah jadul ini bisa memberikan kita hikmah dalam hidup ini.
Komentar :
Posting Komentar