Kemarin malam (8 Jan ’08) mendapatkan sms dari adik saya tentang rasa terima kasih dan hutang budi. Adik saya berterima kasih atas saran saya sehingga kehidupannya sekarang menjadi bertambah baik. Saya pun menjawab sms tersebut yang intinya, semua bertambah menjadi baik karena kamu ”memilih jalan” untuk mengikuti saran saya, bukan memilih hal yang sebaliknya. Jadi intinya, adik saya tidak berhutang budi kepada saya, karena perbaikan kehidupan tersebut juga berkat ikhtiar-nya dan memang sudah ditakdirkan Yang maha Kuasa (tetapi kebetulan saran tersebut lewat saya).
Saya jadi teringat tentang seseorang yang mengatakan bahwa takdir adalah pilihan. Allah menyediakan banyak sekali pilihan sebagai qodar—takdir-Nya dan kita sebagai manusia diberikan anugerah untuk memilih takdir tersebut(tidak seperti halnya hewan). Kecuali jodoh, rejeki dan mati – semuanya adalah pilihan, bahkan rejekipun bisa dikatakan pilihan karena jatah rejeki kita sudah ditentukan, tetapi seberapa rejeki yang akan kita jemput (meminjam istilah Aa Gym) sangat tergantung pada kita. Malah jadi ngelantur kemana-mana ya….tapi masih dalam konteks tema hutang budi juga.
Saya jadi teringat tentang seseorang yang mengatakan bahwa takdir adalah pilihan. Allah menyediakan banyak sekali pilihan sebagai qodar—takdir-Nya dan kita sebagai manusia diberikan anugerah untuk memilih takdir tersebut(tidak seperti halnya hewan). Kecuali jodoh, rejeki dan mati – semuanya adalah pilihan, bahkan rejekipun bisa dikatakan pilihan karena jatah rejeki kita sudah ditentukan, tetapi seberapa rejeki yang akan kita jemput (meminjam istilah Aa Gym) sangat tergantung pada kita. Malah jadi ngelantur kemana-mana ya….tapi masih dalam konteks tema hutang budi juga.
Sekarang saya contohkan kasus , misal anda terlilit hutang yang sangat sulit dibayarkan –rentenir misalnya— kemudian tiba2 ada tetangga yang mau menolong membayarkan hutang anda dengan cicilan semampunya tanpa bunga. Anda pasti merasa berhutang budi pada tetangga tersebut bukan..? –wajar dan lumrah— tetapi akan berbeda ceritanya jika anda terus-menerus merasa berhutang budi kepadanya sehingga apapun kemauan tetangga tersebut anda turuti, termasuk untuk berbuat tidak baik misalnya. Kenapa..? karena anda merasa hutang budi kepadanya. Padahal jika pikir lebih dalam lagi, rejeki tetangga yang digunakan untuk –nalangi— hutang anda tersebut adalah rejeki anda dari Allah yang kebetulan jalannya lewat tetangga tersebut.
Contoh yang lebih realistis dan mengerikan adalah ditempat kerja. Pada saat anda beranggapan bahwa posisi yang anda dapat sekarang adalah semata-mata karena kebaikan atasan anda dan anda tidak memperhitungkan kebaikan Allah sedikitpun dalam kasus tersebut, maka ”anda akan terlilit Hutang Budi”. Akibatnya adalah apapun yang dilakukan oleh atasan anda pastilah anda dukung atau tindakan terlemah yang anda lakukan adalah ”membiarkan” atasan anda berbuat salah (korupsi, pilih kasih dsb).
Saya yakin anda semua pasti pernah mendengar ungkapan ”hutang budi dibawa mati”, dan pernahkah anda memikirkan dalam2 maknanya..? Sejak SMA dulu saya mengenal ungkapan ini dan selanjutnya saya menambahkan salah satu filosofi hidup saya :
–Jangan memikirkan caranya membalas budi orang lain, tetapi pikirkanlah untuk berbuat budi baik kepada orang lain—
• Jelas balas budi tidak akan dapat kita balas, yang membalas hanya Allah SWT dengan pahalanya (dan tergantung pada niatannya tentu saja)
• Jika kita terus memikirkan usaha untuk membalas budi, pada akhirnya kita hanya fokus pada usaha membalas budi dan berbuat baik hanya kepada seseorang saja –yang tanpa pahala karena tiada ikhlas pada niatnya— dan melupakan berbuat baik kepada orang lain.
Sekarang kita agak ngelantur sedikit, tetapi nantinya anda akan tahu koneksinya pada konteks hutang budi. Sebagai orang jawa, saya kurang hafal huruf-huruf jawa, tetapi saya sangat suka filosofinya. Bahkan huruf jawa –ha-na-ca-ra-ka— ini, menurut saya sangat mendasari falsafah hidup orang jawa. Huruf jawa diperlakukan apapun tetap akan bersuara, contoh
- huruf Ha di-suku (Indonesia : ditendang) berbunyi Hu
- huruf Ka di-cakra (cakra adalah panah Adipati Karna yang dapat membunuh Gatotkaca, panah paling sakti selain pasopati-nya Arjuna) berbunyi Kra, dst.
Jadi diperlakukan apapun, huruf jawa masih bisa memiliki bunyi—vokal. Tapi hal ini akan berbeda jika huruf jawa tersebut di-pangku. Huruf jawa akan mati – tidak menghasilkan bunyi atau vokal. Huruf Na jika dipangku akan menjadi.
Demikian halnya dengan orang jawa dan orang Indonesia pada umumnya, jika kita memperlakukan mereka dengan sikap negatif, mereka akan membalas dengan perilaku yang tidak kalah sengitnya. Tetapi jika di-”pangku” – diperlakukan dengan baik, diistimewakan, diberikan jabatan dan sedikit kekuasaan, maka orang jawa, Indonesia (termasuk saya) hanya akan diam tak bersuara – bahkan untuk memperjuangkan kebenaran sekalipun. Jika sudah dipangku, berarti seseorang akan merasa berhutang budi dan selanjutnya akan berusaha untuk selalu membalas budi baik orang tersebut.
Kita sudah banyak tahu bagaimana sesorang yang saat mahasiswa berdemo, berteriak-teriak memperjuangkan keadilan, tetapi setelah dipangku dengan jabatan diam seribu bahasa. Bahkan mereka diam walaupun ketidakadilan ada dihadapan mereka.
Oleh karena sifat Ha-Na Ca-Ra-Ka dan ”sifat mulia” yang selalu ingin membalas budi orang lain itulah
- kadang kita jadi terjerumus pada situasi yang kompleks untuk membedakan benar dan salah (yang sebenarnya hal benar dan salah itu sangat jelas bedanya).
- Kita hanya fokus untuk membalas budi seseorang hingga lupa berbuat baik pada orang lain.
Jadi daripada menghitung-hitung hutang budi kepada seseorang, alangkah baiknya kita fokus pada berbuat budi baik kepada orang lain.
Komentar :
Posting Komentar