Malam bergulir perlahan. Detak jarum jam dinding di kamarku terdengar jelas. Kota Jakarta terlelap dalam tidur. Hanya sesekali terdengar raungan kendaraan. Menggerung keras lalu lenyap ditelan kesunyian.
Pukul dua dini hari.
Aku menyeka sebuah luka memar di sekitar kelopak mataku dengan air hangat. Bekas luka pukulan itu, setelah seminggu perlahan-lahan mulai hilang.
Kini aku menatap wajahku sendiri di dalam cermin. Kenapa itu kamu lakukan, Renaldi?
Kenapa kamu mati-matian membela gadis itu?
Kenapa kamu tidak pernah berkompromi kepada seseorang yang telah membuat mata bening milik gadis itu mempunyai pesona lain dalam hatimu, Renaldi?
Ataukah, kamu mempunyai perasaan khusus pada gadis itu yang sampai saat ini masih kamu sembunyikan?
Yang sampai detik ini tidak pernah kamu ungkapkan?!
***
"Hei, Janna. Kamu tahu tidak kenapa aku sampai saat ini terus memanggilmu, Kristal?"
Suatu hari enam bulan lalu menjelang pelajaran matematika aku membisikkan kalimat itu.
Janna menatapku.
"Karena aku anak Mama yang ke mana pun pergi selalu diantar dan di jaga?"
sahut Janna yakin. Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Karena aku merupakan kaum hawa, yang sering diidentikkan oleh kaummu sebagai penghias dunia kan?" Janna melirikku. Membuka tas sekolah dan mengeluarkan diktat. Aku tertawa. Lantas menggeleng.
"Dih, memangnya aksesoris?" ledekku. Janna mengernyitkan keningnya.
"Karena aku seorang gadis yang hatinya mudah patah berkeping-keping seperti kristal?" pancingnya, bertanya.
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Apaan dong, Re?" Janna penasaran. Menatapku beberapa saat, menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku.
"Karena kamu mempunyai mata bagus dan sebening kristal," jawabku kemudian sembari menikmati mata indah milik gadis itu.
Janna membelalak. Mencubitku gemas sambil menggigit bibirnya sendiri.
"Jujur, Na. Matamu bagus. Bening bak telaga. Juga teduh. Malah kadang-kadang aku sering berkaca di bola matamu itu," kubiarkan wajah Janna tersipu-sipu.
Tinggi semampai, wajah terkesan aristokrat, dan bermata bagus, itu kesan pertama ketika aku mengenal Janna. Ia memang favorit di sekolahku. Ramah dan supel. Kesannya yang cuek dan tidak pernah memilih-milih teman, membuat Janna tumbuh menjadi cewek favorit di SMA-ku.
"Kamu tahu apa yang ada di dalam hatiku saat ini, Kristal?" Mataku menatap lurus ke depan. Memperhatikan Pak Tito yang mulai sibuk memeriksa pe-er yang diberikan hari kemarin.
"Apa, Re?" bisik Janna lirih.
"Aku tidak ingin seorang pun yang akan melukai mata bagus itu." Aku tersenyum. Melindungi kupingku dari cubitan Janna dengan buku diktat.
"Trims, Re. Kamu memang sahabatku yang terbaik." Tanpa melirikku, Janna meluncurkan kalimat itu.
Keakrabanku dengan Janna, sudah terjalin sejak kelas satu SMA. Malah sebagaian teman-teman menyangka kalau Janna adalah cewekku. Tetapi aku tidak pernah berpikir untuk itu. Tekadku waktu itu hanya satu. Aku ingin menjadi sahabat Janna yang terbaik. Tanpa menodai rasa persahabatanku itu dengan perasaan cinta yang sering berakhir dengan kebencian. Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku hanya ingin melihat mata kristal Janna itu terus bersinar cerah. Bibir sensualnya terus berceloteh riang. Itu saja keinginanku. Meskipun aku sempat menangkap sinyal kalau sebenarnya Janna sering memberiku lampu hijau untuk mengubah persahabatan itu menjadi hubungan yang lebih khusus. Tetapi ternyata aku ragu. Takut kalau suatu saat aku melukai hati Janna. Takut kalau suat saat aku akan menorehkan sembilu di hati gadis itu dan membuat mata kristal miliknya berubah kelabu. Sampai suatu saat Janna mengatakan padaku kalau Bian, anak II.3.B, yang sejak kelas satu mengejarnya dengan sabar, telah menjadi bagian dari hari-hari Janna.
Setelah hal itu terjadi, di hati kecilku, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang hilang. Dan aku yakin sesuatu itu adalah Janna.
** Jangan sakiti Hatinya,Dikala Cinta Merekah Di Penghujung Lara **
Lalu semuanya memang berubah. Hari-hari Janna memang tak pernah tersisa lagi untukku. Aku lebih banyak berdiam diri, dan berusaha keras untuk tidak bertegur sapa. Hanya sesekali aku meliriknya jika kebetulan melewati meja Janna. Janna pun demikian. Tampaknya ia tahu akan sikapku. Ia terus menghindariku. Tak pernah lagi mengajakku ke kantin, ke perpustakaan. Aku pun maklum karena Bian selalu ada di sampingnya. Hampir enam bulan hal itu terjadi. Sampai suatu saat aku melihat mendung menggayut di wajah Janna. Dan hal itu membuat hati kecilku tidak tega melihatnya.
Lalu semuanya memang berubah. Hari-hari Janna memang tak pernah tersisa lagi untukku. Aku lebih banyak berdiam diri, dan berusaha keras untuk tidak bertegur sapa. Hanya sesekali aku meliriknya jika kebetulan melewati meja Janna. Janna pun demikian. Tampaknya ia tahu akan sikapku. Ia terus menghindariku. Tak pernah lagi mengajakku ke kantin, ke perpustakaan. Aku pun maklum karena Bian selalu ada di sampingnya. Hampir enam bulan hal itu terjadi. Sampai suatu saat aku melihat mendung menggayut di wajah Janna. Dan hal itu membuat hati kecilku tidak tega melihatnya.
"Kamu punya maslah, Kristal?" Usai pelajaran fisika, aku menghampiri meja Janna.
Mata Janna sejenak berbinar menatapku. Sesaat kemudian mendung kembali menggelayut.
"Re, kita ke kantin, ya?" Bibir sensual itu tersenyum ragu. Ini adalah senyum pertama yang diberikan Janna setelah sekian bulan kami tak bertegur sapa.
"Kamu mau traktir aku, Kristal?" tanyaku sembari membantu memasukkan buku-buku pelajaran yang berceceran di meja belajarnya.
"Ada yang ingin kubicarakan," jawab Janna. Jari lentiknya menyalin rumus terakhir Teori Einstein dari papan tulis.
"Punya problem, Kristal?" tanyaku lagi. Meraih tas sekolahnya dan memasukkan ke dalam laci meja.
Janna mengangguk.
"Problem apa?" Kutatap wajah manis Janna. Ada kerinduan meledak di relung hatiku. Mata itu, Tuhan! Betapa aku sangat merindukan itu! Tapi kenapa mata kristal itu berubah kelabu?!
"Kita bicara di kantin saja ya, Re?" rujuk Janna.
"Terlalu privacy?"
Janna mengangguk lagi.
"Kantin pasti ramai. Bagaimana kalau kita ke cafe Pelangi?"
"Oke, Re. Kita ke cafe," jawab Janna seraya menggandeng tanganku keluar dari kelas.
***
Cafe Pelangi terletak persis di seberang jalan dari sekolahku. Cafe mungil itu merupakan tempat favorit yang kusinggahi bersama Janna. Tempatnya asri. Ada musik lembut dari tiupan saksofon Kenny G., yang kadang-kadang diselingi hentakan cadas kelompok band Linkin Park. Aku sengaja memilih tempat di sudut cafe. Hanya ada seorang pengunjung yang terlihat santai menikmati jus apel dan sebatang rokok. Lelaki separo baya itu terlihat santai dengan dunianya. Sesekali menyedot sigaret di bibirnya lalu asapnya dihembuskan ke langit-langit cafe. Asap rokok itu melayang-layang sejenak lalu melesat dan lenyap lewat jendela cafe.
Janna mengangguk lagi.
"Kantin pasti ramai. Bagaimana kalau kita ke cafe Pelangi?"
"Oke, Re. Kita ke cafe," jawab Janna seraya menggandeng tanganku keluar dari kelas.
***
Cafe Pelangi terletak persis di seberang jalan dari sekolahku. Cafe mungil itu merupakan tempat favorit yang kusinggahi bersama Janna. Tempatnya asri. Ada musik lembut dari tiupan saksofon Kenny G., yang kadang-kadang diselingi hentakan cadas kelompok band Linkin Park. Aku sengaja memilih tempat di sudut cafe. Hanya ada seorang pengunjung yang terlihat santai menikmati jus apel dan sebatang rokok. Lelaki separo baya itu terlihat santai dengan dunianya. Sesekali menyedot sigaret di bibirnya lalu asapnya dihembuskan ke langit-langit cafe. Asap rokok itu melayang-layang sejenak lalu melesat dan lenyap lewat jendela cafe.
"Kamu mau pesan apa, Kristal?" Aku mulai membuka-buka daftar menu yang tergeletak di atas meja.
"Kamu masih memanggilku Kristal, Re?"
Aku tersenyum.
"Kamu masih memanggilku Kristal, Re?"
Aku tersenyum.
"Aku akan terus memanggilmu, Kristal," sahutku. Menelusuri wajah aristokrat yang telah berbulan-bulan tidak pernah lagi kutatap.
"Oya, mau pesan apa?"
"Aku tidak pesan apa-apa, Re," sahut Janna.
"Teh botol, ya?" tawarku.
"Terserah kamu saja."
Aku memesan dua teh botol dan dua bungkus kentang goreng.
"Oya, mau pesan apa?"
"Aku tidak pesan apa-apa, Re," sahut Janna.
"Teh botol, ya?" tawarku.
"Terserah kamu saja."
Aku memesan dua teh botol dan dua bungkus kentang goreng.
"Sekarang kamu ingin membicarakan apa?" Aku memulai pembicaraan serius usai menyerahkan pesanan kepada pelayan.
Janna menatapku sejenak. Gadis itu masih terlihat ragu-ragu untuk mengungkapkan masalahnya.
"Soal Bian, Re." Akhirnya bibir sensual itu terbuka dengan berat.
"Bian?"
Janna mengangguk. Teh botol dan kentang goreng pesanan tiba di meja kami.
Janna mengangguk. Teh botol dan kentang goreng pesanan tiba di meja kami.
"Ada apa dengan Bian?" tanyaku serius.
Janna menatapku dengan wajah murung.
"Dia selingkuh, Re." Bibir sensualnya bergetar. Dua butir bening menggelinding dari matanya. Merembes lamat di kedua pipinya yang putih.
Sesuatu mengiris ulu hatiku!
Aku mengambil tisyu dan mengeringkan cairan bening itu dari pipinya.
"Aku sedih mendengarnya. Kamu tahu, Kristal. Aku kadang sering berdoa agar hubungan kamu dengan Bian abadi," kalimatku mengambang. Aku menjangkau teh botol dan membasahi kerongkonganku dengan cairan manis itu. Janna menatapku tak berkedip.
"Aku sendiri tidak tahu, Re. Kenapa Bian tega melakukan itu."
Ada isak tangis di sela-sela kalimat Janna.
"Kamu yakin Bian mengkhianati kamu?"
Ada isak tangis di sela-sela kalimat Janna.
"Kamu yakin Bian mengkhianati kamu?"
"Aku memergoki sendiri, Bian berjalan dengan mesra dengan seorang cewek."
"Mungkin itu saudaranya?"
"Bukan, Re. Saat itu juga aku menghampiri Bian. Dan Bian mengatakan kalau sebenarnya dia tidak mencintai aku!"
Aku tersedak.
"Begitu?!"
"Ya, Re. Menyakitkan. Aku seperti sampah tak berguna di depan cewek Bian yang baru. Aku malu, Re." Kini aliran sungai dari kelopak mata itu mengalir deras.
"Berarti Bian itu berengsek, Kristal! Dan, aku ingin memberi pelajaran padanya!" Sesuatu meledak di hatiku, memaksaku mengatupkan geraham dan mengepalkan tangan dengan keras.
"Ja-jangan, Re!"
"Kristal, aku pernah berjanji, aku tidak ingin siapa pun melukai hatimu!"
"Aku tahu, Re. Tapi bukan itu yang aku inginkan." Janna menghela napas.
Di luar cafe, angin bergerak gemulai. Menggoyang-goyangkan pucuk flamboyan dengan sesekali menerbangkan bunga-bunga dari rantingnya.
"Aku hanya ingin meminta maaf, Re. Selama ini aku telah membuat jarak dengan kamu," ucap Janna lembut. Menatapku untuk beberapa saat dengan mimik bersalah.
"Lupakanlah, Kristal. Aku maklum."
"Kamu masih menganggap aku sahabat, Re?" Janna menatapku dengan sungguh-sungguh.
Aku mengangguk. "Kamu masih sahabatku yang terbaik, Kristal."
Sesuatu kembali berkelebat di kelopak mata Janna. Mata bening itu kembali bersinar ceria. Dan aku menikmatinya.
** Sesungguhnya Aku Cinta Kamu Dan Kita Sama-Sama Cinta **
Siang, sepulang sekolah aku sengaja meninggalkan Janna. Bersembunyi di kantin lalu menunggu kelas Bian bubaran. Aku telah berjanji akan memberi pelajaran buat Bian yang sok playboy. Yang telah dengan lancang dan sengaja mencampakkan cinta tulus Janna.
Siang, sepulang sekolah aku sengaja meninggalkan Janna. Bersembunyi di kantin lalu menunggu kelas Bian bubaran. Aku telah berjanji akan memberi pelajaran buat Bian yang sok playboy. Yang telah dengan lancang dan sengaja mencampakkan cinta tulus Janna.
Tepat pukul satu kelas Bian bubaran. Buru-buru aku berlari dan menjejeri langkah cowok bertubuh gempal itu.
"Kenapa kamu khianati, Janna?!"
Aku cegat langkah Bian.
Wajah cowok itu tersentak, sejenak, lalu menghentikan langkahnya. Ditatapnya mataku tajam, lantas tersenyum dengan pongah. Ya, Tuhan!
Rasa-rasanya ingin kulayangkan sebuah tinju ke hidungnya yang bangir!
"Kamu ingin menjadi pahlawan?" lontarnya seringan kapas.
Teman-teman sekelas Bian mengerubuti aku.
"Pukul, Bi!" teriak salah seorang teman Bian yang berdiri di sisi Bian.
"Hajar!" Satu lagi kawan sekelas Bian membakar hati Bian.
Tanpa diselingi teriakan yang ketiga, Bian si Jagoan Sekolah melayangkan pukulan yang sangat keras ke wajahku.
Aku terhuyung sesaat karena tidak menyangka Bian akan bergerak secepat itu. Beruntung sebuah tiang menahan tubuhku. Lalu aku membalas, menghajar Bian dengan tendangan kempo. Bian terhempas oleh cangkungan kakiku tadi, tampak meringis berusaha menahan sakit. Namun secepat kilat tubuhnya yang gempal itu menerkam aku. Siswi-siswi yang melihat adegan itu menjerit-jerit ketakutan.
Napasku tersengal saat tubuh kekar Bian menghimpitku. Berkali-kali bogem mentah miliknya hinggap di wajahku. Sampai suatu saat beberapa guru memisahkan perkelahian satu lawan satu itu. Akhirnya, Bian dan aku diskors satu minggu akibat perkelahian memalukan itu! Namun aku tidak menyesal, meski harus dikeluarkan dari sekolah sekalipun! Membela dan melindungi Janna adalah harkat tertinggi dalam hidupku. Aku tidak ingin ada orang yang menyakiti hatinya. Tidak siapa pun!
***
Jam di ruang tengah berdentang satu kali. Aku melirik jam di dinding kamarku. Pukul setengah tiga dini hari. Kini mataku tertuju pada sebuah foto yang kupasang di dinding kamarku. Foto Janna yang sengaja aku perbesar dan menjadi hiasan manis di kamarku. Kutatap untuk beberapa saat sampai hatiku berbisik: 'Tuhan, apakah aku mencintainya?!'
***
Mula-mula sinar matahari pagi yang menyentuh mataku. Kepalaku terasa berat karena aku tidur terlambat. Hari Sabtu ini aku memang tidak masuk sekolah. Ini hari terakhir masa skorsku.
Aku bangkit dari ranjangku, dan sudut mataku tertumpu pada makhluk manis dengan seragam putih abu-abu sedang duduk di meja belajarku.
"Kristal?!" Mataku membelalak tak percaya.
Janna tersenyum.
"Sudah bangun, Re?" tanyanya sembari tersenyum.
"Kamu tidak sekolah?" tanyaku heran.
Janna menggelengkan kepala.
"Tadi ke sekolah sebentar. Tapi ada acara kerja bakti. Aku telepon ke sini. Kata Mama kamu, kamu belum bangun. Lalu, aku minta izin sama guru piket mengurai dalih sedang ada urusan keluarga, tidak ikut kerja bakti. Lalu, jadilah aku kemari," urai Janna ceria, mengangkat bahunya mengaba 'tidak apa-apa, kan?'. Mata beningnya bergerak indah. Menatap sesuatu yang tertempel di dinding kamarku.
Aku mengikuti pandangan mata kristal itu. Dan mukaku merah. Aku telah melakukan kebodohan. Foto besar Janna yang tertempel di dinding itu lupa kusimpan — tentu saja, karena siapa yang menyangka cewek itu akan datang mendadak lantas duduk sekarang di hadapanku!
"Mungkin kamu tidak akan percaya, Re, kalau aku juga menempel foto kamu di dinding kamarku," ungkap Janna dengan suara tertahan. Pipinya nampak memerah. Tetapi dia cepat mengalihkan paras wajahnya yang 'malu' itu dengan bergerak ke arah jendela, menarik gordin dan mementangkan daun jendela. Angin pagi yang sejuk menerobos masuk ke dalam kamarku yang mungil.
Aku terdiam, terkesima dengan pengungkapannya yang jujur.
"Selama ini kita sama-sama muna kan, Re?!" Janna mengalihkan pandangannya dari jendela ke wajahku.
Aku tertunduk. Tak berani menatap sepasang bola mata kristalnya yang tengah memancarkan kesungguhan.
"Aku takut melukai hati kamu, Kristal! Untuk itu, aku tidak pernah mengingkan sesuatu hal yang lebih dari sekadar persahabatan. Meskipun sebenarnya aku...."
"Kamu tidak pernah berterus terang, Re!"
"Sori, Re. Aku...."
"Kamu mencintai aku kan, Re?!" Janna berjalan mendekatiku, duduk di samping saat tiba di gigir ranjang.
Aku terkesiap. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku memang pengecut. Tidak pernah jujur dengan isi hatiku sendiri sehingga menciptakan tirai maya yang memenjarakan aku dalam siksaan yang luar biasa sakitnya.
"Ak-aku...."
"Tak perlu kamu katakan, Re! Dari sikapmu, tatapanmu, aku tahu kalau sebenarnya kamu mencintaiku!" Mata beningnya menatapku tajam.
Aku mengangkat wajah. Mencoba membalas tatapannya yang tulus. Dan beberapa saat kemudian kami saling berpandangan. Lama. Lama sekali. Tiba-tiba ada senandung indah menggelepar di ruang hatiku. Senandung cintakah itu?
Aku tersenyum. Menikmati kerjapan bening mata kristal milik Janna, dan membiarkan senandung cinta itu mengalun indah di hatiku.
Indah, seindah mata kristalnya.
( Tisana,27 Feb 10 ) <== Tamat ==>
Komentar :
Posting Komentar