Langit di luar sana masih tampak gelap, jalanan masih sepi begitupula kebanyakan
orang masih meringkuk, memeluk kehangatan dengan selimutnya masing-masing.
Fiona menatap layar laptopnya dengan tatapan yang sama selama kurang lebih satu jam.
Sudah hampir dua minggu ini, setiap malam dia selalu duduk di depan layar laptopnya.
Mengakses msn, yahoo messenger dan membuka emailnya.
Namun tidak ada pesan yang dikirim untuknya, yang ada cuma hanya email yang tidaklah
penting, Sedangkan yang selalu memanggilnya untuk chatting bersamapun hanya beberapa
teman lama yang sudah hampir kehilangan kontak.
Bukan mereka tetapi Fiona sedang menunggu satu orang untuk memanggilnya lewat chatting,
atau sekedar mengirimkannya email. Tetapi orang tersebut seakan lenyap ditelan bumi, tidak
ada kabar sama sekali.
orang masih meringkuk, memeluk kehangatan dengan selimutnya masing-masing.
Fiona menatap layar laptopnya dengan tatapan yang sama selama kurang lebih satu jam.
Sudah hampir dua minggu ini, setiap malam dia selalu duduk di depan layar laptopnya.
Mengakses msn, yahoo messenger dan membuka emailnya.
Namun tidak ada pesan yang dikirim untuknya, yang ada cuma hanya email yang tidaklah
penting, Sedangkan yang selalu memanggilnya untuk chatting bersamapun hanya beberapa
teman lama yang sudah hampir kehilangan kontak.
Bukan mereka tetapi Fiona sedang menunggu satu orang untuk memanggilnya lewat chatting,
atau sekedar mengirimkannya email. Tetapi orang tersebut seakan lenyap ditelan bumi, tidak
ada kabar sama sekali.
Fiona menghela nafas dengan rasa kecewa. Ditatapnya jam dinding yang terletak tepat
diatas kepalanya, ternyata sudah pukul dua dini hari tetapi mengapa rasa kantuk masih
enggan menghampiri dirinya? Jika saja dia bisa terlelap secepatnya. mungkin rasa sesak
dihati ini akan berkurang sedikit.
Dengan perlahan, Fiona bangkit dari tempat duduknya, menuju balkon kamarnya yang masih
terbuka dengan lebar. karena angin malam memang paling sejuk. dengan malu-malu, mereka
menyapu wajah dan rambutnya sebahunya yang tergerai.
Hari ini, tidak ada bintang yang bertaburan menghiasi langit gelap. Seakan mengerti
perasaan langit, Fiona berkata pada dirinya sendiri, “Apakah kau juga kesepian langit?
Di mana bintang yang selalu menemanimu?”
Setelah memikirkan sesuatu, atau tepatnya seseorang, dia kembali mengangkat kepalanya
dan melanjutkan, “Kurasa kita senasib malam ini. Atau mungkin nasibku lebih malang dari nasibmu.
Kau hanya kehilangan bintangmu malam ini.
Sedangkan aku sudah kehilangan bintangku untuk selamanya.”
Angin malam yang berhembus semakin lama semakin dingin. Sampai Fiona harus merapatkan kedua
tangannya merangkul badannya sendiri. Sepertinya itulah jawaban dari langit atas pertanyaannya.
Disaat sedang menatap kegelapan sang langit. Tiba-tiba dia teringat kepada seseorang.
Seseorang yang hampir seminggu ini terus meracuni pikirannya. begitupula membuatnya tidak
nafsu makan dan minum. Tidak dapat menutup mata dan terlelap dalam tidur.
Seseorang yang kalau boleh dibilang telah memadamkan sebagian cahaya kebahagiannya. Dan
seseorang itu jugalah yang telah mengambil pergi senyumannya.
Untuk sejenak, dia melorotkan badannya ke lantai. Sambil memeluk kedua lututnya, dia
menenggelamkan kepalanya ke dalam kedua lututnya. Sejenak kemudian, dia mendongakkan
kepalanya kembali.
Kali ini, pikirannya disibukkan oleh kenangan akan perkataan seseorang tersebut. dan waktu
sepertinya kembali berputar ke hari itu.
“Konon katanya, jika langit tidak berbintang, maka kemungkinan bintang jatuh sangatlah
besar. Dan jika ada bintang jatuh, kau tahu apa artinya?” seseorang itu bertanya.
Fiona menggelengkan kepalanya.
“Kau harus berdoa dan memohon, karena permohonan yang dibuat saat bintang jatuh akan
terkabul.”
“Apakah itu benar? Atau kau sedang berbohong padaku?”
“Aku serius kali ini!!! Jika kau tidak percaya, maka kau bisa membuktikannya.
Lihatlah langit hari ini tidak berbintang. mari kita tunggu bersama bintang jatuhnya.
Bagaimana?”
Fiona mengangguk kepalanya dengan cepat. Seulas senyuman lebar menghiasi wajahnya. Hari
itu, dia bertengkar dengan kedua orang tuanya. Hampir selama empat jam dia menangis.
Matanya masih sembab dan bengkak sebagai hasil dari siksaan yang baru dialaminya. Dan
karena kehadiran seseorang itu, maka untuk pertama kalinya, dia bisa tersenyum dengan
bahagia.
“Kadang aku merasa kau adalah bintangku.” seseorang itu menolehkan kepalanya menghadap
ke arah Fiona yang sedang berdiri di sampingnya, “Kau selalu ada disaat aku sedang susah dan
sedih. Kurasa kaulah bintang yang menerangi hidupku. entah bagaimana rasanya jika suatu
hari kau tidak bersamaku lagi.”
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak ada?”
pertanyaan spontan terlontarkan. Fiona membisu sejenak. Otaknya sibuk berpikir.
“Mungkin aku akan merasa kehilangan.” Fiona segera memalingkan wajahnya
dan memicingkan matanya, “ Tapi, kau tidak berencana untuk meninggalkan aku kan?”
Seseorang itu tersenyum lembut, lalu mengacak-acak rambut Fiona dan berkata, “Tenang saja.
Selamanya aku akan ada di sampingmu. Aku tidak akan pergi walaupun kau menyuruhku pergi.
Karena bagiku. Kau adalah……”
Belum sempat seseorang itu mengakhiri perkataannya, Fiona
memotong, “Lihat! Lihat! Ada bintang jatuh ayo cepat make a wish.”
Dengan gembira, mereka menutup mata dan membuat permohonan dalam hatinya masing-masing.
Beberapa menit kemudian, Fiona membuka matanya terlebih dahulu.
Dia segera memalingkan wajahnya ke samping dan tersenyum dengan bahagia.
“Apa yang kau minta?” seseorang itu bertanya.
“Aku meminta supaya kau selamanya menjadi bintangku
dan sahabat terbaikku. Tidak akan pernah meninggalkan aku.”
Seketika itu, senyum lembutnya langsung sirna. Ada perasaan kecewa yang timbul dalam hati
seseorang tersebut saat mendengar Fiona mengatakan bahwa dirinya hanya sebatas sahabat
terbaiknya.
Dia berharap cewek yang sedang duduk di sampingnya ini bisa menganggapnya lebih dari
sebatas sahabat. Apakah mungkin selama ini perbuatan masih tidak cukup untuk menunjukkan
perhatiannya yang lebih dan perasaan dari dalam lubuk hatinya?
Belum puas dengan jawabannya sendiri, Fiona balas bertanya,” Dan kau? Apa yang kau minta?”
Seseorang itu menggelengkan kepalanya. Menunjukkan mimik wajah bahwa dia enggan berbagi
permohonan yang dibuatnya, “Ini rahasia.
Suatu hari aku akan memberitahukannya kepadamu.”
“Kenapa tidak sekarang saja? Ayolah.”
rengek Fiona, “Aku penasaran dengan apa yang kau mohonkan.”
“Sekarang belum waktunya.”
Fiona memutar kedua bola matanya dan pura-pura ngambek,
“Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi. Kau bukan sahabat terbaikku lagi.”
“Hahahaha….” Seseorang itu tertawa dengan kerasnya.
Sikap inilah yang membuat perasaan yang tumbuh dihatinya, semakin hari semakin kuat
tawaan inilah yang selalu menghiasi hari-harinya. Bagaimana mungkin dia bisa hidup sehari
tanpa melihat wajah Fiona yang akan merona merah setiap kali dia tertawa.
Dengan gemas seseorang itu mencubit kedua pipi gadis itu dan merangkulkan sebelah lengan
tangannya.
Fiona tersadar dari lamunan. Tanpa sadar, dia bergumam dalam hatinya, “Aku merindukanmu.
Aku sungguh sangat merindukanmu, Arif.”
Waktu yang berlalu tidak dapat diprediksi. terkadang dalam situasi tertentu, waktu
akan terasa berjalan lebih lambat dari biasanya dan begitupula sebaliknya. Bagi Fiona,
lebih baik waktu berjalan cepat daripada lambat.
Karena waktu yang berjalan lambat hanya akan terus mengingatkannya pada Arif, seseorang
yang telah menjadi bagian paling penting dalam hidupnya. Jika tidak, bagaimana mana mungkin
dia akan merasa begitu terpukul dan kehilangan dengan kepergian Arif yang mendadak tanpa
sepenggal pesan apapun.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun secara perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit,
Fiona berhasil mengeluarkan Arif dari hati dan pikirannya. Walaupun belum sepenuhnya,
setidaknya, kini hidupnya kembali berjalan dengan teratur.
Dia sudah tidak terbangun sepanjang malam hanya untuk menunggu email ataupun panggilan chatting. Dia juga sudah tidak berdiri semalaman di depan balkon dan menatap langit. Menunggu bintang jatuh dan membuat permohonan.
“Fio.” Panggil Lara, salah seorang temannya sejak masuk bangku kuliah.
“Yah.” Jawab Fiona, menghentikan langkahnya.
Semula dia berencana untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen paling killer sekampus di
perpustakaan. Tepat sebelum dia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, Lara memanggilnya.
“Tadi pagi, Pak Andika menyuruhku untuk memberitahukan bahwa ada yang mau dia bicarakan
padamu. Kau disuruh ke kantornya sehabis kelas ini.”
“Sekarang?” Fiona melirik jam tangannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Biasanya jam segini Pak Andika pasti sudah pulang.
Dosen yang satu ini hanya bekerja sebagi dosen part-time di kampusnya dan hanya mengajar
mata kuliah di pagi hari.
“Iya. Kau cepat ke kantornya, aku akan menunggumu di kantin. Jika kau sudah
siap, kau bisa menjumpaiku di kantin dan kita bisa pulang berbarengan.” Usul Lara.
“Sebaiknya kau pulang duluan, masih ada hal yang harus
kukerjakan setelah ini.” dengan halus Fiona menolak ajakan Lara.
Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah ratusan kali dia menolak ajakan dari Lara ataupun
teman yang lainnya. Dia membatasi diri dalam bergaul dengan siapapun. Tidak ingin jatuh
ke lubang yang sama dan kembali kehilangan.
Baginya lebih baik menjaga jarak kedekatan dengan seseorang. Supaya jika seseorang itu
meninggalkan dirinya kelak, seperti apa yang Arif lakukan padanya, dia tidak akan merasakan
siksaan dari kehilangan itu.
Setelah mengetuk beberapa kali, Fiona membuka pintu kantor dosennya dan melonggokkan
kepalanya ke dalam.
“Bapak memanggil saya?” tanyanya dengan sikap sopan.
“Iya. Silakan masuk dan duduk. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kamu.”
“Ada masalah apa, Pak?” Fiona mengambil duduk tepat didepan Pak Andika.
“Begini, Ada seorang mahasiswa yang mau melanjutkan studinya di kampus kita. Selama ini, dia kuliah di Aussie. Namun karena ada masalah pribadi, dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Masalahnya dia tidak ingin mengulang dari awal, jadi bapak mau meminta tolong supaya kau mau membantunya dengan beberapa ketinggalannya.”
Fiona mengangguk mengerti. Sebenarnya dia ingin menolak, tapi merasa segan. Karena Pak Andika adalah seorang dosen yang sangat baik. Maka rasanya sangatlah tidak nyaman jika harus menolak permintaan sederhana seperti itu.
“Siapa namanya, Pak?”
“Namanya
“Arif.”
Jawaban yang berasal dari seseorang di belakang Fiona membuatnya terkejut dan segera membalikkan badannya untuk memastikan siapa yang sedang berbicara. Seseorang itu kemudian melanjutkan, “Kurasa aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi kan,
Fio.”
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” tanya Pak Andika dengan nada senang
“Iya, Pak kami teman sekelas sejak SMP.”
“Bapak senang mendengarnya.” dosen tersebut lalu mengalihkan pandangannya dari Arif menuju
ke arah Fiona.
Sementara itu, Arif tersenyum lebar pada Fiona, seakan tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya.
Seakan dia tidak pernah pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
“Tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku?” kata Arif,
kali ini dia tersenyum jahil dan bergerak mendekat ke tempat duduk Fiona.
Fiona membeku. Tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya. Hatinya masih
terlalu shock dengan semua yang baru terjadi. dan dia belum bisa menerima semuanya. dengan
cukup kasar, dia membalikkan kembali kepala dan badannya menghadap ke arah Pak Andika.
“Saya tidak punya waktu. Mohon Bapak mencari orang lain saja.Permisi.”
Fiona bangkit dari duduknya, melewati Arif tanpa sekalipun menatapnya dan berjalan keluar
seakan cowok itu tidak pernah ada disana. Seakan semua ini hanyalah mimpi, Ini pasti mimpi!
Seperti biasanya, sehabis bubaran kelas, Fiona pasti segera menghabiskan waktu di tempat kesukaannya dari segala sudut kampusnya, perpustakaan. disana dia mendapatkan ketenangan
dan kedamaian yang dia butuhkan untuk mengerjakan segala tugas dari para dosen killer yang
biasanya selalu memberi tugas segunung dan menyuruh mereka untuk mengumpulkannya kembali
dalam waktu 2 hari.
Selain itu, dia juga senang mendengarkan musik kesukaannya di Ipod. Membiarkan dirinya
terlelap selama satu dua jam. Rasanya lebih nyaman tertidur di dalam perpustakaan daripada
di kamarnya sendiri.
Dan siang itu, dia kembali terlelap. Diantara tumpukan buku-buku tebal yang berserakkan di
salah satu meja besar persegi panjang. Letaknya berdekatan dengan dua buah jendela besar
yang menghadap ke taman kampus.
“Hoooaaammmm.” Fiona menutup mulutnya dengan salah satu tangannya yang masih
tergeletak bebas di meja, sementara tangan yang lain menjadi bantalan untuk kepalanya.
Beberapa kali dia mengerjapkan matanya. Setelah memperoleh kesadaran penuh, hal pertama yang dilihatnya, langit di luar sana yang mulai berubah warna. Dari warna biru muda ke warna jingga kemerah-merahan.
Hal ini menandakan bahwa hari sudah sore dan sudah saatnya dia pulang ke rumah. Segera dibereskan semua buku-buku yang masih terbuka dan terhampar di hadapannya. Namun, sebuah tas ransel coklat yang tergeletak di samping kursinya membuyarkan segalanya.
Beberapa buku yang berada di tangannya jatuh ke lantai. Hatinya berdegup dengan kencang.
Dan tanpa sadar dia berjalan mundur beberapa langkah ke belakang. Dia masih belum menyadari bahwa ada seseorang berdiri memunggunginya.
“Aucch…” Fiona menjerit terkejut saat punggungnya bersentuhan
dengan seseorang, dia membalikkan badannya. dan ini semua bukanlah mimpi.
“Kau baik-baik saja?” seseorang itu tidak lain adalah Arif.
Fiona lebih memilih untuk diam dan memungut buku yang terjatuh ke lantai.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Arif lagi sambil membantu Fiona.
Tetapi, dengan kasar, Fiona menepis tangannya dan memberi
isyarat dengan bahasa tubuh bahwa dia bisa melakukan semuanya sendiri.
“Apa kau marah padaku?” kali ini Arif kelihatan sudah kehilangan
kesabaran dengan sikap bisu Fiona yang menganggap dia tidak ada.
Masih dengan ekspresi yang sama, Fiona memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya dan berjalan melewati Arif dengan sikapnya yang sangat dingin. Dalam hati, Fiona terus meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi dan yang harus dilakukannya sekarang hanyalah segera pulang dan tidur.
Sebelum dia berjalan lebih jauh, Arif menahan lengan tangan kirinya.
“Kenapa kau bersikap begitu dingin padaku? Apa kau tidak merindukanku? Apa tidak ada yang
ingin kau sampaikan padaku? Bukankah kita sahabat? Mengapa sekarang ini kau menganggapku
seolah aku ini tidak ada?”
Pertanyaan beruntun dari Arif membangkitkan rasa sakit, marah dan sedih dalam hati Fiona.
Dengan kesal, dilemparkan dua buku tebal yang sedang dipegangnya.
“Kau bertanya seakan tidak ada masalah yang terjadi. Kau sangat ingin dengar apa yang sedang kurasakan? Baiklah aku akan menjawab. Ya Benar Aku marah. Bukan hanya marah, tetapi sangat
marah kepadamu.
Kau bilang kita sahabat? Biarkan aku bertanya padamu, apakah seorang sahabat akan
meninggalkan sahabatnya yang lain tanpa sepenggal pesan? Apa ini yang dilakukan oleh
seorang sahabat?”
Fiona sudah tidak mampu membendung amarahnya, “Jika seorang sahabat seperti itu, maka aku
tidak memerlukan sahabat ini. Jadi aku mohon jangan berbicara denganku lagi. Jika kau melihatku, anggaplah aku ini tidak ada. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama padamu.”
Fiona menghirup nafas panjang sebelum melanjutkan,
”Karena di duniaku, sudah tidak tercantum namamu lagi.”
Airmata mengalir perlahan dari kedua pelupuk mata Fiona, sesaat setelah dia
membalikkan badannya dan berjalan pergi. Satu kali merasakan kehilangan rasanya sudah cukup.
Malamnya, Fiona kembali duduk termenung di balkon kamarnya. Kegiatan seperti ini sudah jarang
dia lakukan sejak berbulan-bulan yang lalu. Namun sepertinya kejadian hari ini secara tidak langsung membangkitkan semua kenangan pahit di masa lalu.
Fiona kembali mendekap kedua lututnya dan menyandarkan kepalanya pada kedua lengannya.
Setiap helaan nafas yang dia hembuskan terdengar berat dan sedih. Dia sungguh tidak tahu
apa yang dia lakukan sore ini benar atau salah.
Di satu sisi dia ingin memeluk Arif dan bertanya mengapa dia meninggalkannya selama setahun
ini. Tetapi, di sisi yang lainnya, dia tidak ingin terlalu banyak berharap. Mungkin saja lain kali, cowok
itu akan kembali meninggalkan dirinya.
Dia tidak butuh seorang sahabat yang akan meninggalkannya secara tiba-tiba.
Dia tidak butuh seorang sahabat yang selalu membuatnya menunggu setiap malam.
Dia juga tidak butuh seorang sahabat yang tidak bisa menepati janjinya.
Tapi, apakah rasa yang selama ini dia tujukan pada Arif murni
hanya perasaan sebagai seorang sahabat? Atau ada perasaan lebih?
Fiona menggelengkan kepalanya dengan kuat. Menepiskan setiap kemungkinan yang ada.
Dia kembali mengangkat kepalanya dan menatap langit. Hari ini lagi-lagi, langit tidak berbintang.
“Apakah akan ada bintang jatuh hari ini?”
Fiona bertanya pada dirinya sendiri dengan nada tidak pasti.
Pasalnya, sudah hampir setahun belakangan ini, walaupun
langit tidak berbintang, tapi dia tidak pernah melihat bintang jatuh.
“Mungkin saja ada. Aku bisa menemanimu menunggu
bintang jatuh.” Terdengar suara yang berasal dari balkon sebelah.
Fiona segera mencari pemilik suara tersebut. Lagi-lagi, dia dikejutkan oleh kehadiran Arif.
“Apa yang sedang kau lakukan disana?” tanya Fiona dengan sedikit tergagap.
“Menemanimu menunggu bintang jatuh.” jawab cowok itu dengan nada enteng.
“Tapi, bagaimana kau bisa sampai disana?” Fiona berdiri dan
berjalan mendekat ke arah pembatas balkonnya dengan balkon sebelah.
Arif menunjukkan tangannya ke arah sebuah tangga yang
sedang tergantung di bagian depan balkon, “Aku memanjat.”
“Apa kau sudah gila? Apa yang harus kulakukan jika kau terjatuh dan terluka? Kenapa kau
tidak pernah berubah dari dulu? Selalu melakukan perbuatan yang konyol.” Gerutu Fiona sambil memicingkan matanya.
“Dan perbuatan konyol itu hanya aku lakukan untuk menghiburmu.”
Jawaban dari Arif sempat membuat Fiona terdiam untuk beberapa saat.
Arif kembali memanjat dan melompati dinding pembatas dari balkon sebelah ke balkon kamar Fiona.
“Apa kau masih marah padaku?”
Fiona mendengus kesal, tapi tidak menjawab. Dia kembali mengambil duduk di sudut balkon dan
memandangi langit. Sementara dengan bebal, Arif mengambil tempat duduk tepat di sampingnya.
“Maafkan aku karena aku menghilang secara
mendadak setahun ini. Tetapi, aku mempunyai alasan tertentu.”
Dengan cepat, Fiona bertanya, “Alasan apa?”
“Aku sedang memberi waktu pada diri kita masing-masing.”
“Memberi waktu?”
Fiona memberikan ekspresi bingung terhadap perkataan Arif, “Waktu untuk apa?”
Kini, Arif mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap langit yang tidak berbintang,
“Masih ingatkah kau saat kita mengucapkan permohonan bersama disaat bintang jatuh?”
Fiona mengangguk dan kembali menunggu perkataan Arif selanjutnya.
“Saat itu, aku memohon supaya kau bisa sedikit, hanya sedikit saja merasakan
bahwa perasaanku selama ini sebenarnya lebih dari perasaan sebagai seorang sahabat.”
Fiona terlihat terkejut, tetapi Arif tetap melanjutkan, “Aku menyukaimu sejak, aku tidak tahu sejak kapan. Aku hanya tahu bahwa semakin hari rasa suka dan sayangku semakin bertambah. Tetapi,
kau tidak pernah menyadarinya.
Kau terus menyebutku sebagai seorang sahabat terbaikku dan hatiku terluka.
Aku tidak ingin menjadi sahabat terbaikmu.
Aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari seorang sahabat bagimu.
Tidakkah kau mengerti?” Arif menatap langsung ke dalam kedua bola
mata gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
Fiona tidak tahu apa yang hendak dia katakan.
Ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam hatinya, tapi ada juga rasa terkejut. Dia hanya
bisa membisu seperti patung dan melihat ke arah Arif tanpa sekalipun mengerjapkan matanya.
Arif kembali melanjutkan, “Kepergianku hanya
untuk memastikan, apakah kau bisa hidup bahagia tanpaku?”
Fiona menjawab dengan tegas, “Aku tidak bisa. Tidakkah kau sadar bahwa aku pernah berkata
padamu bahwa kaulah bintangku dan aku tidak tahu bagaimana rasanya jika suatu hari kau tidak bersamaku?
Sebenarnya saat itu, aku sedang menunjukkan perasaanku padamu. Tetapi
kau ini memang bodoh. tidak bisa menangkap sinyal yang sedang kuberikan kepadamu.”
Kali ini, Arif yang terkejut dengan perkataan Fiona. Dia sedang berusaha untuk
mencerna setiap kata yang sedang diucapkan oleh gadis yang sedang duduk di sampingnya.
“Jadi, maksudmu kau juga menyukaiku?” pertanyaan Arif hanya dijawab oleh Fiona dengan
sebuah anggukan, “Tapi bukankah kau selalu bilang bahwa aku ini sahabat terbaikmu?”
“Karena itu aku merasa kau tidak pernah menganggap diriku lebih dari seorang sahabat. Maka
bagiku, selama kau selalu berada di sampingku sebagai seorang sahabat pun, aku sudah sangat puas.”
Untuk sesaat, suasana berubah menjadi hening. Arif dan Fiona saling menatap satu sama lain. Kemudian, keduanya memecah keheningan dengan tawaan yang keras. Mereka menertawakan
diri masing-masing yang sudah bersikap bodoh selama ini.
Seandainya mereka berterus terang dari awal, mungkin akhir cerita yang bahagia ini tidak harus tertunda hingga setahun kemudian. Jika saja mereka bisa membaca isi hati masing-masing dengan
lebih baik, mungkin mereka tidak harus merasakan sakit yang tidak semestinya harus mereka rasakan.
Tidak lama kemudian, langit yang gelap dipenuhi dengan hujan bintang jatuh yang berlangsung
selama satu menit. Dengan cepat mereka menutup kedua mata mereka dan kembali membuat
permohonan.
“Apa yang kau minta?” tanya Arif penasaran saat
Fiona baru saja membuka matanya dan tersenyum sendiri.
“Rahasia.” Fiona meniru gaya Arif yang dulu.
Arif kembali mengacak rambutnya dan merangkulkan sebelah lengan
tangannya ke pundak Fiona dan menarik badan gadis itu merapat ke dirinya.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.
Aku janji.” Arif mempererat rangkulannya.
Fiona hanya kembali mengangguk kecil dan menyandarkan kepalanya pada bahu Arif.
Dalam hati dia berkata, “Aku hanya meminta supaya kau selamanya tetap menjadi
bintangku. Karena langit tidak akan pernah lengkap tanpa kehadiran sang bintang.”
Komentar :
Posting Komentar