Yogyakarta - Panah bisa dibilang sebagai senjata
tradisional global yang dikenal luas oleh masyarakat dunia. Namun, kini
sangat jarang masyarakat yang mau dan mampu melestarikan panahan
tradisional.
Berbagai alasan dan kesulitan umumnya menghambat pelestarian panahan
tradisional. Seperti misalnya proses pembuatan panah yang rumit, arena
yang dibutuhkan relatif luas, hingga kalah saing dengan panahan moderen
dan aneka olahraga dan permainan moderen lainnya.
Namun, alasan tersebut tidak berlaku bagi sebagian masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka tetap berusaha melestarikan panahan
tradisional yang dikenal dengan nama Jemparingan, walau harus menghadapi
berbagai kesulitan tersebut.
Salah satu komunitas yang hingga kini masih melestarikan tradisi Jemparingan diantaranya 'Paguyuban Mardisoro'.
Bahkan, mereka mengadakan lomba rutin sebagai salah satu motivasi agar
para penghoby atau 'pandemen Jemparingan' betah melestarikan tradisi
leluhur.
Dua lomba yang rutin diadakan diantaranya di Pendopo Agung Hotel Royal
Ambarrukmo setiap Jumat sore dan di Arena Panahan Kawasan Puro
Pakualaman, setiap 35 hari sekali.
Panahan tradisional Jemparingan ini memiliki sejumlah ciri khas dan
keunikan, yang membedakannya dengan panahan tradisional lainnya ataupun
dengan panahan modern yang biasanya dilombakan pada ajang Olimpiade.
Pada panahan Jemparingan, puluhan pemanah membidik tiga hingga lima
buah sasaran secara bersamaan. Target atau sasaran yang dipanah, yang
disebut bandulan, pun relatif kecil.
Bisa dibayangkan, betapa sulitnya membidik Bandulan yang hanya setinggi
sekitar 30 centimeter dengan diameter sekitar lima centimeter. Sasaran
pun digantung pada posisi satu setengah meter dari tanah, atau setinggi
dada orang dewasa dengan jarak 30 meter dari pemanah.
Bandulan berwarna putih, dengan kepala berwarna merah sekitar lima
centimeter persegi. Jika pemanah berhasil menancapkan anak panah pada
badan bandulan akan memperoleh nilai satu, dan jika berhasil menancap di
kepala bandulan akan memperoleh nilai tiga.
Namun, para pemanah diharuskan menembak sasaran dengan posisi duduk
bersila. Mereka duduk dengan posisi menyampingi arah sasaran.
Selain itu, para pemanah juga diwajibkan menggunakan pakaian
tradisional Yogyakarta ketika mengikuti lomba dan juga pada saat latihan
bersama.
Sejumlah keunikan tersebut pun menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Seperti kondisi yang tampak
di Pendopo Agung, Hotel Royal Ambarrukmo, baru-baru ini.
Para wisatawan dan warga negara asing bahkan tidak hanya tertarik untuk
menonton. Mereka bahkan ada yang mencoba dan bahkan menekuni
Jemparingan.
"Kami memang sengaja memberikan kesempatan kepada komunitas Jemparingan
ini untuk menggunakan Pendopo Agung setiap hari Jumat. Karena Pendopo
ini memang berfungsi sebagai tempat melestarikan tradisi. Dimasa moderen
ini, alangkah baiknya jika generasi muda melestarikan tradisi para
leluruh. Dan kami memberikan dukungan berupa tempat di Pendopo Agung
ini," ujar Manajer Public Relation Royal Ambarrukmo, Wiwied Widyastuti,
Jumat (14/9/2012).
Wiwied menambahkan, wisatawan yang berminat bisa langsung mencoba panahan tradisional ini setiap hari Jumat sore.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Mardisoro, Sukro Kusmanto mengatakan
olahraga panahan tradisional atau Jemparingan ini tidak bisa hanya
mengandalkan kekuatan fisik. Jemparingan membutuhkan integrasi antara
kekuatan fisik dan ketenangan batin.
"Olahraga yang harus benar-benar dihayati. Kuncinya kita harus
menyatukan dan mengheningkan hati dan pikiran," tutur Sukro Kusmanto.
Pimpinan sekaligus tokoh paguyuban Jemparingan yang 'bermarkas' di
kompleks, Puro Pakualaman, Yogyakarta ini menambahkan, upaya pelestarian
Jemparingan ini tidak sia-sia. Dia mengakui akhir-akhir ini, peminat
olahraga panahan tradisional ini mengalami penambahan. Sejumlah warga
mulai melirik Jemparingan sebagai olahraga pilihan sekaligus turut serta
melestarikan kebudayaan tradisional peninggalan nenekmoyang.(adi/waa)
SUMBER :ERABARU
Komentar :
Posting Komentar