Menunggu langganannya datang menjahit sepatunya di tepi jalan.
Pada suatu hari, ketika Entong beristirahat makan siang, seberkas sinar berkilauan menarik perhatiannya. Sinar itu berasal dari tumpukan bebatuan yang berada di seberang tepi jalan. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia mendekati sumber kilauan cahaya tersebut, ternyata terdapat sekeping emas di antara sela-sela batu bata.
Melihat rezeki di depan mata, Entong mencoba mengoretnya dengan ujung pisau, tetapi kepingan emas itu seakan-akan berakar pada tanah, bagaimanapun Entong mengorek, kepingan emas itu tak tergerakkan sedikit pun.
Akhirnya Entong terpaksa mengurungkan niatnya dan kembali ke tempat usahanya. Diam-diam dia berjanji di dalam hati:
“Sungguh malang nasibku ini, hingga untuk memiliki kepingan emas yang tipis itu pun tidak pantas. Biarlah pada masa yang akan datang, apabila saya menemukan harta tak bertuan lainnya yang bagaimanapun banyaknya, saya tidak akan memungutnya untuk dijadikan milik saya pribadi.…”
Waktu berlalu dengan cepat, dua tahun kemudian, ketika melalui suatu tempat yang sunyi, jauh dari keramaian kota, tiba-tiba terlihat oleh Entong setumpuk kepingan emas yang jatuh berserakan di jalan yang jumlahnya cukup banyak, Entong membungkukkan tubuhnya, tangannya ingin mengambil, seketika itu terlintas dalam pikirannya suatu ikrar diri yang pernah dijanjikannya dua tahun yang lalu: “…, biarlah pada masa yang akan datang…”, demi kesetiaan dirinya terhadap janji itu, akhirnya Entong tidak jadi memungut harta tersebut.
Entong kemudian pergi ke sebuah kuil Biksuni terdekat dan memberitahukan hal itu kepada pimpinan kuil agar harta tak bertuan itu dapat dipergunakan untuk memugar kuil tersebut yang memang sudah tua. Seusai pemugaran, ternyata masih terdapat sisa uang yang tidak sedikit, atas kebijaksanaan pimpinan kuil, sisa uang tersebut didepositokan pada sebuah bank atas nama Entong, sungguh pun demikian, Entong masih tetap pada pendiriannya, tidak pernah mempergunakan uang tersebut.
Pada hari peresmian kuil, tidak ditemukan Entong di antara hiruk pikuknya para undangan terhormat, dia dengan sengaja bersembunyi di rumah familinya. Atas usaha keras para biksuni, berhasil juga diketahui tempat persembunyiannya. Berulang kali Entong diminta kehadirannya, tetapi dia tetap tidak bersedia.
Tiba-tiba Entong mendengar alunan suara kecapi yang indah, dia tertarik untuk mengetahui siapa gerangan yang memainkan musik itu, tetapi suatu yang tidak dikehendaki semua orang terjadi. Ketika Entong baru saja melangkah keluar dari pintu rumah, terjadi sambaran kilat dan guntur bertautan, seketika itu juga Entong meninggal dunia.
Ternyata menurut karma kehidupan lalunya, Entong seharusnya meninggal terbakar halilintar setelah tersiksa keganasan dunia hingga umur lanjut, tetapi atas pahala yang diperoleh dari membangun kuil, dia meninggal lebih dini dari yang sudah ditentukan sebelumnya, yang berarti memperingan pembalasan karma lalunya.
(Sumber: Buku Aneka Cerita Karma)*
Komentar :
Posting Komentar