Pada Tahun 1611, Gubernur Jenderal VOC Pieter Both mengutus bawahannya Jan Pieterzoon Koen ke Tanah Banten untuk membeli Hasil Bumi dan rempah-rempah terutama Lada, di Banten dia berkenalan dengan seorang saudagar Tionghoa yang sangat berpengaruh di wilayah itu serta mempunyai tanah perkebunan yang sangat luas yang bernama Souw Beng Kong ( oleh orang Belanda ditulis sebagai BENCON ), Souw Beng Kong sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh para petani dan pedagang di wilayah itu, setiap pedagang asing dari Inggris , Portugis dan Belanda yang ingin membeli Hasil Bumi haruslah melakukan pembelian dan negosiasi harga dengan kehadiran pihak Souw Beng Kong .
Souw Beng Kong ( selanjutnya disingkat sebagai SBK ) diperkirakan lahir di Tang Oa dekat Kota Pelabuhan Amoy – Propinsi Hokkian, kira-kira Tahun 1580. Istri resminya diperkirakan berdarah Melayu bernama INQUA ( ? ),karena Surat Wasiat terakhir dari SBK harus diterjemahkan dahulu kedalam Bahasa Melayu,SBK mempunyai seorang anak yang masih tinggal di daerah asalnya di Tiongkok, Ia juga mempunyai 2 orang putra anak dari 2 perempuan Bali, seorang putra lagi dari istri lain seorang perempuan Tionghoa dan ada lagi seorang putri dari istri yang tidak pernah disebut namanya.
Pada masa itu sudah banyak masyarakat Tionghoa yang tinggal mengelompok disuatu tempat yang dikelilingi Pohon Bambu yang kelak tempat tersebut dikenal dengan sebutan daerah Bambu Cina. Masa itu Pelabuhan Banten adalah sebuah pelabuhuan yang sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari mancanegara, terutama pada bulan February sampai bula April banyak pedagang dari Daratan Tiongkok yang datang untk membeli hasil bumi terutamanya adalah Lada dan Kopra.
Peranan kelompok orang Tionghoa sangatlah penting dalam turut memajukan perdagangan di wilayah Kesultanan Bantensejak Zaman Dahulu , Hal ini terlihat dari hasil penggalian di daerah Banten Girang menunjukan bahwa orang-orang Tionghoa sudah berinteraksi dengan masyarakat Banten sejak Abad ke 7 – 8 dan setidak nya dari hasil penggalian purbakala tersebut terlihat bahwa telah terjadi hubungan yang sangat erat dan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Kebanyakan dari orang Tionghoa kala itu datang dari pesisir Daratan Tiongkok Selatan, pada awalnya mereka dating untuk berdagang dan memuat barang-barang dagangan tersebut dengan Jung-Jung ( Kapal China Zaman dulu yang sangat terkenal ) dan kembali ke negeri asalnya , setelah itu banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan disini dan pengaruh mereka sangatlah besar kemudian berkembang memasuki hampir semua sektor ekonomi, mulai dari tata cara bertani sampai ke pemasaran hasil bumi, dari berdagang keliling sampai ke perdagangan dengan kalangan internasional, dari Tukang Kayu sampai Pandai Besi, dari pembuatan garam sampai pembuatan batu bata.
Jan Pieterzoon Coen yang datang untuk membeli hasil bumi mulai mencoba mempengaruhi dan menekan SBK, tetapi tidak berhasil karena sebagai pedagang yang piawai SBK tidaklah mudah untuk diintimidasi dan ditekan, dalam hal ini Sultan Banten waktu itu merasa sangat senang dan terbantu oleh Pihak SBK dan kelompok Tionghoa lainnya yang dianggap bisa mengadakan negosiasi dagang yang bisa menguntungkan Kesultanan Banten. Orang-orang Tionghoa ini juga yang mengajarkan teknologi baru dalam hal bertani sehinga hasilnya bisa melimpah seperti bertani dengan sistim persawahan lengkap dengan pengairannya karena sebelumnya mereka hanya bercocok tanam dengan sistim ladang sehingga hasilnya kurang memuaskan.
Ketika Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta / Sunda Kelapa pada Tahun 1619, penduduk setempat tidak mau mengadakan hubngan dagang dengan pihak Belanda, demikian juga dengan orang Tionghoa karena sebelumnya Belanda telah membuat perjanjian dengan Pangeran Jayakarta, dalam perjanjian itu disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa tidak diperbolehkan membangun rumah disekitar Loji yang didirikan Belanda, padahal waktu sudah banyak orang Tionghoa yang tinggal di sekitar pesisir pantai dimana Belanda banyak mendirikan Loji-loji nya sehingga banyak dari warga Tionghoa yang rumahnya harus dibongkar dan harus pindah ketempat lain untuk menjauhi Lajo-loji tersebut.
Untuk merebut hati golongan Tionghoa maka akhirnya Coen menghapus peraturan tersebut namun golongan Tionghoa sudah patah arang dan tidk percaya lagi pada Belanda serta tidak mau lagi berhubungan dagang, menghadapi hal ini Coen teringat pada SBK, pedagang yang sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa.
Pemboikotan yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa ini makin lama makin hebat, para pedagang Tionghoa juga tidak mau lagi menjual dagangannya kepada pihak Belanda, bahkan tidak ada orang Tionghoa yang mau memperbaiki sepatu para Serdadu Belanda. Jan Pieterzoon Coen akhirnya sadar akan potensi kerugian lebih besar yang bisa terjadi kalau masalah ini berlarut-larut, akhirnya ia memutuskan untuk menemui SBK dan meminta bantuannya untuk mengatur dan mengurus komunitas Tionghoa di Batavia maupun di Banten.Kepada bawahannya dia memberi perintah bahwa “ Siapapun yang ingin memperluas dan memperkuat perdagangan serta pengaruh Belanda, harus bekerja sama dengan komunitas Tionghoa, karena mereka adalah bangsa yang ulet, rajin dan giat bekerja - ” dan hanya SBK lah orang yang tepat untuk diajak bekerja sama.
“ Tidak ada yang lebih cocok untuk tujuan kita selain bekerja-sama dengan komunitas Tionghoa “ demikian laporan J.P. Coen kepada Heeren XVII. Coen juga menyatakan bahwa “ komunitas ini sangat bertentangan dengan penduduk asli yang berwatak pemalas, susah diatur dan tidak dapat dipercaya, orang-orang Tionghoa ini adalah pekerja yang rajin, tidak kenal lelah, sangat terampil dan berdisiplin kuat “.
Demikian setelah melalui proses pendekatan dan bersaing dengan pihak Kesultanan Banten dan juga karena Sultan Banten telah melakukan kesalahan fatal dengan menyuruh membongkar semua rumah orang Tionghoa yang terletak dipinggiran pantai Banten karena hal ini dianggap terlalu mengganggu pemandangannya dalam memantau Pantai Banten, maka berangsur-angsur orang-orang Tionghoa dibawah pimpinan Souw Beng Kong dan Lim Lak Co ( Shoemaker van Banten / Pembuat Sepatu dari Banten ) pindah ke Batavia. Sejak itu pelan-pelan Pelabuhan Banten mulai ditinggalkan oleh para pedagang mancanegara, pusat kegiatan perdagangan pun mulai berpindah ke Batavia.
Gelombang pertama perpindahan itu sebanyak 170 Keluarga Tionghoa dari Banten mulai memasuki Batavia, dan SBK harus menampung dan mengurusi mereka . Untuk keperluan mengatur masyarakat Tionghoa tersebut maka Jan Pieterzoon Coen pada tanggal 11 Oktober 1619 mengangkat Souw Beng Kong menjadi Kapiten ( Kapitein ) Tionghoa yang pertama yang diangkat oleh Pihak Belanda, pada masa itu penduduk Tionghoa yang ada di Batavia sudah sekitar 400 Keluarga dan terus bertambah .
Souw Beng Kong juga diangkat sebagai sebagai Ketua Kongkoan ( Dewan Tionghoa masa itu ), Dewan itu bertugas untuk mengatur segala keperluan dan kepentingan orang-orang Tionghoa mulai dari Upacara Perkawinan , Upacara dan tempat Pemakaman serta memilih tempat-tempat pemakaman untuk orang Tionghoa di Batavia.
Mengenai soal Kongkoan ini sejarahwan dari Universitas Leiden Belanda yaitu Profesor Leonard Blusse menyatakan, Kongkoan ini dipergunakan oleh Pemerintah Belanda selain untuk mengurusi orang Tionghoa, Dewan ini juga bertugas menjadi semacam petugas sensus yg mencatat semua data-data tentang masyarakat Tionghoa dan yang terlebih penting adalah untuk menarik bermacam Pajak dari mereka.
Profesor Blusse saat ini dengan Historical Institute ( IGEER ) sedang melakukan pekerjaan besar yaitu menyusun dan membuat microfilm tentang daftar dan data-data dari anggota Kongkoan di Batavia dari mulai didirikan dibawah Pimpinan Souw Beng Kong yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang, data dari para anggota Kongkoan tersebut sa’at ini sudah berada di Universitas Leiden, bila selesai data itu dapat digunakan oleh para orang-orang Tionghoa yang ingin mencari asal-usul dan akar keluarganya.
Souw Beng Kong ditugasi untuk mengurusi urusan sipil termasuk harus bisa mengatasi bila ada keributan antar sesama orang Tionghoa. Ketika pada 24 Juni 1620 di Batavia dibentuk College van Schepenen, Souw Beng Kong sebagai Kapiten Tionghoa sa’at itu juga diberi jabatan dalam Dewan tersebut, Jabatan Souw Beng Kong dalam Dewan tersebut bukan hanya memberikan nasihat, tetapi juga memutuskan dan bertanggung-jawab atas segala perkara-perkara yang berkenaan dengan orang Tionghoa yang diajukan kepada Dewan / Majelis tersebut.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal pada 18 Agustus 1620, Souw Beng Kong diberi kekuasaan penuh untuk menangkap orang-orang Tionghoa yang menurut pendapatnya harus ditangkap ( semisal terlibat tindakan Kriminal ) dan menyerahkannya kepada pemerintah Belanda. Pengangkatan Souw Beng Kong dalam jabatannya tersebut juga disetujui oleh Pemerintah Pusat di Negeri Belanda, seperti yang tertera dalam surat kepada J.P. Coen yang antara lain menyatakan “ Pemerintah Kerajaan Belanda menyetujui pengangkatan Tuan BENCON ( Belanda menyebut SBK dengan nama BENCON ) sebagai anggota Dewan College van Schepenen “
Dalam melaksanakan tugasnya Souw Beng Kong dibantu oleh seorang sekretaris beragama Islam yang bernama Gouw Cay. Kedua pimpinan orang Tionghoa ini tidak diberi gaji tetapi diberi hak untuk menarik cukai sebesar 20 % dari dari Pajak Judi yang dikenakan Pemerintah Belanda kepada para Pachter ( Penyelenggara Rumah Judi )di Batavia, Rumah Judi ini sengaja dipelihara oleh pemerintah Belanda tujuannya tentu untuk menarik uang pajak dari para para pemain judi yang kebanyakan adalah para Kuli Kontrak dan Budakyang sangat kecanduan judi dimana sering kali uang yang diterima dihabiskan di meja judi.
Sebenarnya bukan hal yang mustahil bila Pemerintah Belanda memang mau menghapuskan rumah-rumah judi terebut tetapi hal ini sengaja dipelihara dan dilindungi oleh para petugas Belanda setempat yang mendapatkan setoran / upeti dari para penyelenggara rumah judi tersebut, rumah judi tersebut harus membayar jumlah yang cukup besar sampai mencapi 6000 Sterling tiap bulannya.
Gouw Cay sebagai sekretaris Souw Beng Kong dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tertanggap 1 Agustus 1621 diberi sebidang tanah berupa kebun kelapa di Kampung Bebek. Ditempat tersebut pada Tahun 1625 Gouw Cay membangun sebuah Mesjid yang sampai Tahun 1920 an masih berdiri.
Berkat kharisma dan wibawa beliau maka jumlah penduduk Tionghoa di Batavia dibawah kepemimpinan Souw Beng Kong meningkat dengan pesat sampai mencapai 1000 keluarga lebih pada Tahun 1622. Mereka pada umumnya hidup dengan berdagang dan bertani, pemboikotan kepada Pemerintah Belanda juga berangsur-angsur dihentikan Karena Pemerintah Belanda telah memberikan kebebasan kepada orang Tionghoa untuk membangun rumahnya dimana saja mereka suka dala artian tidak lagi dibatasi hanya boleh membangun di daerah tertentu,setiap hari makin banyak saja orang Tionghoa yang berdatangan dan tinggal di Batavia.
Daerah perumahan pun berkembang dengan pesat, baik didalam kota maupun daerah pinggiran, demikian juga dengan sektor perdagangan berkembang dengan pesat. Boleh dikata bahwa Souw Beng Kong turut membangun fondasi dalam mengembangkan Kota Batavia yang dimulai oleh Jan Pieterszoon Coen.
Karena jasa-jasanya, dengan Surat Keputusan tertanggal 1 February 1623 Gubernur Jenderal JP Coen memberi hadiah 2 bidang kebun kelapa kepada Souw Beng Kong diatas tanah tersebut dibangun rumah-rumah batu yang cukup megah atas biaya Pemerintah Belanda, penjagaan 24 jam juga diberikan demi menjaga keamanan Souw Beng Kong dan keluarganya, dikarenakan waktu banyak juga golongan lain yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran SBK.
Dalam catatan “ Kalapaci “ disebutkan bahwa orang-orang dari Tiongkok selatan tidak suka berhubungan dengan Pemerintah Belanda di Batavia karena kapal-kapal Jung mereka yang akan pulang ke Tiongkok sering dicegat dan dirampas diperairan sebelah utara Nusantara ( atas hal ini utusan dari penguasa Fukien datang ke Batavia untuk menyampaikan protes atas tidakan perompakan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dibawah pimpinan Cornelis Reyersen).
Barang-barang rampasan diangkut ke Batavia dan awaknya dibui untuk kemudian dijual kepada para hartawan sebagai budak belian dengan harga 60 Real ( ? ) perorangnya kemudian dipekerjakan sebagai budak perkebunan dan pertanian dengan Pajak Kepala sebesar 1,5 Real sebulan.
Waktu itu Souw Beng Kong dan Gouw Cay diberi hak untuk membuat mata uangnya sendiri yang terbuat dari timah dan timahnya harus dibeli dari pihak Belanda dengan tidak dikenakan pajak.
Tahun 1628-1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan Agung di front Timur, dengan tentara Banten di front Barat dan tentara Inggris dari laut di front Utara maka Souw Beng Kong menunjukan sikap Netral dan Tidak Memihak, berkali-kali J P Coen dari Pihak Belanda meminta bantuan tapi ditolak oleh Souw Beng Kong dan Sultan Banten yang pernah punya hubungan baik dengannya juga meminta bantuan Souw Beng Kong tetapi juga ditolaknya dengan halus, ini membuktikan bahwa kedatangan orang Tionghoa di Bumi Nusantara ini tidak punya maksud untuk terlibat dalam Konflik dan ingin menjadi Penguasa tetapi murni karena ingin berdagang dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Setelah VOC berhasil melakukan penyusupan kedalam pasukan Sultan Agung dan berhasil membakar ransum serta berhasil mengalahkan pasukan tentara Banten dan juga mengalahkan armada Inggris, maka Pemerintah VOC makin memperkokoh posisinya di Batavia, Pemerintah Belanda memberlakukan peraturan yang ketat, setiap warga dilarang bepergian tanpa Surat Izin dari Pemerintah Belanda.
Souw Beng Kong menjadi tidak senang bekerja sama lagi dengan pihak pemerintah Belanda, ia mengajukan permohonan untuk kembali ke Tiongkok. Setelah permohonannya dikabulkan maka dengan menumpang kapal perang “ de swaen “ dia berangkat ke Tiongkok melalui Taiwan.
Namun, ketika di Taiwan dia membaca maklumat dari pemerintah Tiongkok yang menyatakan bahwa barang siapa yang pernah bekerja sama dengan pihak Belanda, maka harta bendanya akan disita dan orangnya akan dikenakan hukuman berat. Karena takut maka Souw Beng Kong membatalkan kepulangannya ke Tiongkok dan selama dua tahun dia tinggal di Taiwan sambil berdagang dan ternyata usahanya tersebut gagal.
Selama di Taiwan Souw Beng Kong akhirnya terlibat dalam sejumlah usaha penyelundupan dan perdangangan gelap, tetapi mengingat akan jasa-jasanya kepada kaum Tionghoa di Batavia maka dia tetap dilindungi oleh para sahabatnya, para pejabat Belanda di Batavia mengirimkan utusan dan surat kepada Gubernur Taiwan sehingga dia lolos dari hukuman pemerintah Tiongkok dan akhirnya ia memutuskan kembali ke Batavia.
Pada tahun 1639 , dengan menumpang Kapal perang Belanda “ Brouckoort “ dia pun bersama keluarganya kembali ke Batavia. Ternyata sesampai di Batavia Souw Beng Kong tetap dihormati, walaupun kedudukannya sebagai anggota College van Schepenen telah digantikan oleh Phoa Beng Gan ( yang oleh Belanda disebut Binggam), tetapi jasa-jasa Souw Beng Kong masih diingat oleh pihak Belanda.
Ketika dibentuk Boedel Kamer atau Balai Harta Peninggalan untuk mengurus dan melindungi harta warisan kaum Hartawan Tionghoa yang tidak mempunyai ahli waris, maka Souw Beng Kong pun mendapat kehormatan dan diangkat untuk mengepalainya ( Boedel Messter ).
Kemudian, bersama Lim Lak Co, Souw Beng Kong mengajukan resolusi agar pemerintah Belanda menaruh perhatian khusus dan serius kepada kampung orang Tionghoa untuk menjaga kesehatan dan diperbaiki lingkungannya, tuntutan kedua orang ini dipenuhi oleh pemerintah Belanda dan hasilnya adalah penataan lingkungan pecinan di seputar Pancoran-Kota yang sampai sekarang masih belum banyak berubah, pengaruh Souw Beng Kong pun semakin bertambah kuat, akhirnya karena telah berusia lanjut Souw Beng Kong mengajukan pengunduran diri dan Lim Lak Co dipilih menjadi pengganti Souw Beng Kong.
Souw Beng Kong meninggal pada 8 April 1644 dan seluruh masyarakat Tionghoa ikut berkabung, pemerintah Belanda juga menyatakan turut bela sungkawa, Phoa Beng Gan sebagai Kapitein pengganti Souw Beng Kong pun mengajukan permohonan agar jenazah Souw Beng Kong boleh disemayamkan di rumahnya, sambil menunggu selesainya pembangunan komplek makam yang memakan waktu dua bulan lamanya.
Upacara pemakamannya dilakukan dengan penuh kebesaran dan penghormatan, masyarakat Tionghoa dari seluruh Batavia dan sekitarnya pun turut mengantarkan jenazahnya ke pemakaman yang jumlahnya mungkin mencapai belasan ribu orang. Pemerintah Belanda pun memberikan penghormatan penuh secara kemiliteran.
Sampai dengan akhir tahun 1960 an Makam Souw Beng Kong tersebut masih bisa dijumpai di Gang Taruna ( dahulu disebut Gang Souw Beng Kong ) di Jalan P. Jayakarta.Saat itu, batu nisan Tionghoa makam Beng Koen menyembul di tengah perumahan kumuh yang dibelah Gang Taruna yang sempit di sisi Jalan Pangeran Jayakarta. Sepintas, tidak ada yang istimewa karena tak ubahnya seperti banyak pemakaman Tionghoa yang dirambah menjadi perumahan.
Dalam rangka melestarikan peninggalan sejarah dan turut menghargai jasa-jasa almarhum Souw Beng Kong serta sebagai wujud keperdulian terhadap Bangsa dan Negara maka pada 11 Februari 2008 di Jakarta telah didirikan Yayasan Kapitein Souw Beng Kong yang dipimpin oleh KRT Hendarmin Susilo ( So Sien Ming ) yang program pertamanya adalah membebaskan tanah di sekeliling makam Souw Beng Kong yang sudah di dikuasai oleh warga sekitar, karena tepat diatas makam Souw Beng Kong tersebut pernah berdiri sebuah rumah lengkap dengan kamar mandinya, Yayasan Kapitein Souw Beng Kong juga sudah merehabilitasi komplek makam tersebut sehingga sekarang ini layak disebut sebagai makam orang ternama dan juga mengadakan upacara-upacara adat sesuai dengan kepercayaan yang dipeluk oleh almarhum Souw Beng Kong ( seperti yg ada pada foto di Koran Suara Pembaruan - Kolom Ni Hao Ma ).
Demikianlah kisah dari seorang Tokoh Tionghoa ber Marga Souw yang boleh dibanggakan oleh kalangan kalangan Tionghoa , karena beliau selain sebagai Kapitein Pertama dari golongan Tionghoa juga sangat di hormati dan dan dicintai oleh kaum Tionghoa pada waktu itu, semoga tulisan bisa menjadi inspirasi dan kebanggaan bersama dari orang Tionghoa di Indonesia .
Komentar :
Posting Komentar