Setelah Cao Cao menghabisi Yuan Shao di kancah Perang Guan Du (baca kisahnya di The Epoch Times edisi 189), ia berhasil mempersatukan wilayah utara dan manjadi kekuatan terbesar di Tiongkok kala itu.
Pada bulan ke tujuh tahun 208, Cao Cao memimpin pasukannya bergerak ke selatan dan berupaya menduduki Jing Zhou, dengan tujuan agar Sun Quan (baca: suen chüen, kelak menjadi penguasa kerajaan Wu) yang kala itu menguasai enam provinsi di wilayah bagian selatan sungai Yangtse, merasa keder dan bersedia takluk kepadanya.
Pada saat itu, kekuatan Cao Cao hampir tak tergoyahkan, tampaknya obsesi besarnya untuk mempersatukan seluruh wilayah Tiongkok bakal menjadi kenyataan. Namun bagaimanapun manusia berusaha, takdir Sang Pencipta-lah yang berlaku. Pasukan besar Cao Cao dengan kekuatan 150.000 prajurit ternyata berhasil dikalahkan sampai kocar-kacir, dan terusir kembali ke kampung halaman mereka di utara, oleh gabungan pasukan Sun Quan dan Liu Bei (baca: Liu Pei) yang hanya berjumlah 50.000 prajurit, di medan laga Chi Bi. Dan setelah Pertempuran Chi Bi itu, negeri Tiongkok terbagi menjadi tiga, dengan demikian ramalan Zhuge Liang (baca: chuke liang, penasehat andalan Liu Bei dalam kemiliteran) telah menjadi kenyataan.
* Liu Bei Kalah Perang di Chang Ban Bo
Pada bulan ke-8 tahun 207, Liu Biao penguasa Jing Zhou, wafat karena sakit. Liu Cong putera keduanya, dibujuk oleh Cai Mao (kerabat dari istri Liu Biao) untuk mengangkat diri sebagai pengganti penguasa Jing Zhou, namun Cai Mao lantaran takut terhadap pengaruh Cao Cao yang semakin besar, maka ia memaksa Liu Cong menyerah kepada Cao Cao tanpa berperang. Dan seiring menyerahnya Liu Cong, jatuhlah Jing Zhou ke tangan Cao Cao. Liu Bei (sepupu Liu Biao yang kelak menjadi penguasa kerajaan Shu) yang bertahan di kota Fan begitu mendengar kabar itu langsung mundur dari kota Fan menuju Jiang Ling (kini daerah provinsi Hu Bei Tengah-selatan).
Di Jiang Ling terdapat sejumlah besar bahan pangan dan persenjataan Liu Biao, tentunya Cao Cao mengkhawatirkan logistik tersebut, apabila itu dikuasai Liu Bei maka tentu akan semakin memperbesar kekuatannya. Maka ia pun memimpin sendiri 5.000 pasukan elit kavaleri melakukan pengejaran yang dapat menempuh jarak 300 Li (sekitar 150 km) dalam sehari semalam. Kemudian di daerah Chang Ban (kini di daerah timur laut Dang Yang – provinsi Hu Bei), Cao Cao berhasil mengalahkan Liu Bei dan menduduki Jiang Ling, inilah perang di lereng Chang Ban yang terkenal. Liu Bei terpaksa mundur bersama saudara angkatnya Zhang Fei dan jenderal setianya Zhao Yun untuk kembali bergabung dengan Guan Yu, saudara angkat lainnya, dan sang penasehat Zhuge Liang, lalu mereka bertahan di Fan Kou.
Sesudah Liu Bei kalah perang, Zhuge Liang mengusulkan bersekutu dengan Sun Quan yang menguasai Dong Wu (wilayah sebelah selatan sungai Yangtse-hilir kini) untuk melawan Cao Cao. Ketika itu pejabat tinggi dari pihak Dong Wu, Lu Su kebetulan juga mengusulkan bergabung dengan kekuatan Liu Bei, itulah mengapa setelah Cao Cao menguasai Jing Zhou, Sun Quan mengutus Lu Su berunding dengan Liu Bei, dan berharap kedua pasukan dapat bersekutu melawan Cao Cao.
Selain Lu Su yang mendukung perang melawan Cao Cao, kala itu di internal pihak Dong Wu juga terdapat suara pro-kontra yang keras. Zhang Zhao birokrat bangsawan, sangat ketakutan jika pasukan mereka kalah, maka kehidupan tentramnya akan terganggu, iapun mengusulkan agar mereka menyerah saja kepada Cao Cao sedini mungkin, agar masih memiliki "modal" untuk melakukan tawar menawar.
Sun Quan sendiri menjadi bimbang dan ragu. Di satu pihak ia tidak terima 100.000 prajuritnya bakal di bawah perintah Cao Cao, di sisi lain ia juga gentar terhadap kekuatan militer Cao Cao, dan khawatir tidak sanggup menandinginya.
* Persekutuan Sun dan Liu Melawan Cao Cao
Pada saat Sun Quan dalam bimbang dan ragu, datanglah Zhuge Liang menemui Sun Quan di Dong Wu. Agar Sun Quan lebih teguh dalam mengambil keputusan melawan Cao Cao, maka ia menyiasiatinya dengan metode kejutan rangsangan. Begitu melihat Sun Quan, ia langsung saja menasehati Sun Quan agar menyerah kepada Cao Cao. Sun Quan balik bertanya kepada Zhuge Liang: "Junjungan Anda, mengapa tidak menyerah?" Zhuge Liang menjawab: "Majikan saya adalah ksatria zaman sekarang, bagaimana mungkin mau menyerah kepada Cao Cao?" Sun Quan menganggap Zhuge Liang menghinanya, dan ia pun langsung meninggalkan tamunya itu dan masuk ke dalam rumah, dengan jengkel mengibaskan kedua lengan bajunya yang panjang itu.
Lu Su mengetahui Zhuge Liang sengaja memancing amarah Sun, iapun bergegas mengejarnya sampai memasuki ruang dalam dan berkata kepada Sun Quan: "Zhuge Liang memiliki jurus pamungkas terhadap Cao Cao, maka sengaja melontarkan kata2 itu untuk merangsang Anda". Sun seketika tercerahkan, dengan segera keluar dari ruang dalam, meminta maaf kepada Zhuge Liang dan memohon petunjuk strategi jitu.
Maka Zhuge Liang membeberkan analisanya tentang situasi kala itu kepada Sun Quan. Ia menggaris-bawahi meski Cao Cao unggul dalam jumlah pasukan, namun kondisi perang yang berkepanjangan dan perjalanan yang jauh, diumpamakan bagai busur yang segera kehilangan kelenturannya. Pasukan Cao Cao yang berasal dari daerah utara, ditambah dengan suasana hati masyarakat Jing Zhou yang baru saja ditaklukkan, maka tak ada yang perlu ditakuti, asalkan Sun dan Liu bersatu-padu tanpa adanya pengkhianatan, pasti bisa mengalahkan Cao Cao.
Usulan Zhuge Liang menggerakkan hati Sun Quan, maka dipanggillah Zhou Yu, panglima pasukan air dari Po Yang (kini di daerah propinsi Jiang Xi), untuk merembukkan strategi besar.
Zhou Yu mendukung usulan Zhuge Liang dan Lu Su, selain itu ia juga menunjuk pasukan Cao Cao yang berasal dari Tionggoan (pusat kebudayaan dan geografis Tiongkok) yang diisukan memiliki 800.000 prajurit, pada kenyataannya hanya berjumlah tidak lebih dari 150.000 prajurit, ditambah lagi kondisi mereka sudah sangat kelelahan. Sun Quan demi memperkuat tekad persekutuannya dengan Liu dalam melawan Cao Cao, maka ia di tempat pertemuan tersebut menghunus keluar pedangnya, dan menebas putus sudut meja sambil berteriak: "Siapapun yang tidak menyetujui perang melawan Cao Cao, nasibnya akan sama dengan meja ini." Alhasil Sun Quan mengangkat Zhou Yu dan Cheng Pu sebagai panglima sayap kiri dan sayap kanan, dilengkapi dengan 30.000 pasukan elit, menyusuri sungai hingga Xia Kou untuk bergabung dengan pasukan Liu Bei yang berjumlah 20.000 orang lebih untuk bersatu melawan Cao Cao.
Pada bulan ke 10 tahun 208, pasukan gabungan Sun-Liu bergerak melawan arus sungai Yangtse ke arah barat dan bertemu dengan pasukan Cao Cao yang mengikuti arus di Chi Bi (Karang merah - selama ini terdapat beberapa teori dan pada umumnya lokasi tersebut diperkirakan berada di daerah barat laut Bu Yin propinsi Hu Bei kini, di pantai selatan sungai Yangtse), kedua pasukan itu saling serang, pada awalnya pasukan Cao Cao sempat terdesak, pasukan perintis mereka dikalahkan oleh tentara sekutu dan mundur ke Wu Lin yang terletak di pantai utara sungai Yangtse (kini di timur laut Hong Hu propinsi Hu Bei), kedua pihak berkonfrontasi dari kedua sisi sungai.
* Cao Cao Kalah, Tiongkok Terbagi Tiga
Tak lama kemudian, pasukan Cao Cao terjangkiti wabah penyakit, mereka yang berasal dari utara hanya mahir bertempur dari atas kuda. Sungai yang berombak dan kehidupan serba goyang di atas kapal, membuat pasukan Cao Cao tidur tak nyenyak makan tak selera; maka Cao Cao memerintahkan ratusan kapal perang me-reka dihubungkan satu sama lain dengan rantai besi yang pada ujungnya digembok untuk meredam ayunan ombak dan terpaan angin, agar lebih stabil.
Huang Gai salah seorang jenderal Zhou Yu, setelah mengetahui Cao Cao merangkai armada kapal mereka dengan rantai, maka mengusulkan siasat serangan api untuk mengalahkan pasukan musuh. Usul tersebut sejalan dengan pikiran Zhou Yu, maka dipilihlah "Menyerang dengan api, setelah kalut dihantam."
Bagaimana caranya serangan api? Harus merapat mendekati armada lawan baru dijamin berhasil, maka Zhou Yu merancang sebuah siasat dan dirundingkan secara rahasia dengan Huang Gai yakni Huang Gai seolah menyerah kepada Cao Cao. Agar Cao Cao percaya, Zhou Yu menggunakan "Siasat penyiksaan badan", yakni memukuli Huang Gai sampai badannya memar dan berdarah, kemudian Huang Gai mengirim surat tanda menyerah kepada Cao Cao. Anekdot populer "Zhou Yu memukul Huang Gai, yang satu rela memukul, yang lainnya rela dipukul" berasal dari kejadian tersebut.
"Siasat Penyiksaan Badan" oleh Huang Gai ternyata ampuh. Cao Cao tidak tahu kalau itu siasat belaka, hingga tiba hari pertemuan yang telah disepakati, Huang Gai membawa 10 buah kapal bermuatan penuh terisi rumput ilalang kering dan minyak, yang di bagian luarnya ditutupi dengan kain dan dikibarkan bendara tanda menyerah, melaju mengikuti arus angin ke arah armada Cao Cao. Bersamaan dengan itu Huang Gai mempersiapkan kapal cepat yang digantung di bagian belakang "Kapal kapitulasi", agar setelah membakar dapat dengan segera meloloskan diri. Ketika jarak dengan armada Cao Cao semakin dekat, Huang Gai memerintahkan setiap kapal untuk menyulut kapal masing-ma-sing.
Saat itu kebetulan sedang berhembus angin tenggara, armada Huang mengikuti arah angin sehingga kapal meluncur "secepat angin". Lantaran kapal-kapal perang yang saling terhubung dan terkunci serta saling mengekang satu sama lain itu lamban dalam gerak maju atau mundur, hanya mampu bergerak dengan kecepatan rendah, selain itu rantai dan gembok juga tak dapat dilepas dengan cepat, dengan api yang semakin mengganas di armada tersebut, dalam sekejap saja, armada Cao Cao menjadi lautan api, bahkan ikut pula membakar markas yang berada di daratan. Para prajurit dan kuda pasukan Cao Cao banyak yang mati tenggelam atau terpanggang, dan Cao Cao mengalami kerugian yang amat berat.
Kemudian armada utama pasukan sekutu Sun-Liu pada kesempatan tersebut menyeberangi sungai menerjang ke arah utara menyerbu pasukan Cao Cao yang telah mengalami kekalahan besar. Pasukan Cao Cao yang tersisa, menyusuri jalan setapak di propinsi Hu Bei dan mundur ke arah Jiang Ling. Ditambah dengan wabah penyakit dan kelaparan, pasukan Cao Cao mengalami kerugian separo. Cao Cao yang telah malang melintang di medan tempur selama 20 tahun belum pernah mengalami kekalahan separah ini.
Pasca perang Chi Bi, Cao Cao mundur ke utara, tidak lagi memiliki kekuatan invasi ke selatan. Liu Bei menempatkan tentaranya di Jing Zhou dan di bawah rencana strategi Zhuge Liang, berturut-turut ia menduduki empat provinsi, kemudian memperoleh pinjaman wilayah dari Sun Quan di Nan Jun, dan ia menduduki sebagian besar provinsi Jing Zhou. Pada 211 – 214, Liu Bei mengalahkan Liu Zhang (putra Liu Biao) dan menduduki Yi Zhou. Sun Quan masih terus mengontrol Jiang Dong (wilayah selatan hilir sungai Yangtse), dengan demikian terwujudnya situasi tiga Negara telah menjadi kenyataan.
Pada bulan ke tujuh tahun 208, Cao Cao memimpin pasukannya bergerak ke selatan dan berupaya menduduki Jing Zhou, dengan tujuan agar Sun Quan (baca: suen chüen, kelak menjadi penguasa kerajaan Wu) yang kala itu menguasai enam provinsi di wilayah bagian selatan sungai Yangtse, merasa keder dan bersedia takluk kepadanya.
Pada saat itu, kekuatan Cao Cao hampir tak tergoyahkan, tampaknya obsesi besarnya untuk mempersatukan seluruh wilayah Tiongkok bakal menjadi kenyataan. Namun bagaimanapun manusia berusaha, takdir Sang Pencipta-lah yang berlaku. Pasukan besar Cao Cao dengan kekuatan 150.000 prajurit ternyata berhasil dikalahkan sampai kocar-kacir, dan terusir kembali ke kampung halaman mereka di utara, oleh gabungan pasukan Sun Quan dan Liu Bei (baca: Liu Pei) yang hanya berjumlah 50.000 prajurit, di medan laga Chi Bi. Dan setelah Pertempuran Chi Bi itu, negeri Tiongkok terbagi menjadi tiga, dengan demikian ramalan Zhuge Liang (baca: chuke liang, penasehat andalan Liu Bei dalam kemiliteran) telah menjadi kenyataan.
* Liu Bei Kalah Perang di Chang Ban Bo
Pada bulan ke-8 tahun 207, Liu Biao penguasa Jing Zhou, wafat karena sakit. Liu Cong putera keduanya, dibujuk oleh Cai Mao (kerabat dari istri Liu Biao) untuk mengangkat diri sebagai pengganti penguasa Jing Zhou, namun Cai Mao lantaran takut terhadap pengaruh Cao Cao yang semakin besar, maka ia memaksa Liu Cong menyerah kepada Cao Cao tanpa berperang. Dan seiring menyerahnya Liu Cong, jatuhlah Jing Zhou ke tangan Cao Cao. Liu Bei (sepupu Liu Biao yang kelak menjadi penguasa kerajaan Shu) yang bertahan di kota Fan begitu mendengar kabar itu langsung mundur dari kota Fan menuju Jiang Ling (kini daerah provinsi Hu Bei Tengah-selatan).
Di Jiang Ling terdapat sejumlah besar bahan pangan dan persenjataan Liu Biao, tentunya Cao Cao mengkhawatirkan logistik tersebut, apabila itu dikuasai Liu Bei maka tentu akan semakin memperbesar kekuatannya. Maka ia pun memimpin sendiri 5.000 pasukan elit kavaleri melakukan pengejaran yang dapat menempuh jarak 300 Li (sekitar 150 km) dalam sehari semalam. Kemudian di daerah Chang Ban (kini di daerah timur laut Dang Yang – provinsi Hu Bei), Cao Cao berhasil mengalahkan Liu Bei dan menduduki Jiang Ling, inilah perang di lereng Chang Ban yang terkenal. Liu Bei terpaksa mundur bersama saudara angkatnya Zhang Fei dan jenderal setianya Zhao Yun untuk kembali bergabung dengan Guan Yu, saudara angkat lainnya, dan sang penasehat Zhuge Liang, lalu mereka bertahan di Fan Kou.
Sesudah Liu Bei kalah perang, Zhuge Liang mengusulkan bersekutu dengan Sun Quan yang menguasai Dong Wu (wilayah sebelah selatan sungai Yangtse-hilir kini) untuk melawan Cao Cao. Ketika itu pejabat tinggi dari pihak Dong Wu, Lu Su kebetulan juga mengusulkan bergabung dengan kekuatan Liu Bei, itulah mengapa setelah Cao Cao menguasai Jing Zhou, Sun Quan mengutus Lu Su berunding dengan Liu Bei, dan berharap kedua pasukan dapat bersekutu melawan Cao Cao.
Selain Lu Su yang mendukung perang melawan Cao Cao, kala itu di internal pihak Dong Wu juga terdapat suara pro-kontra yang keras. Zhang Zhao birokrat bangsawan, sangat ketakutan jika pasukan mereka kalah, maka kehidupan tentramnya akan terganggu, iapun mengusulkan agar mereka menyerah saja kepada Cao Cao sedini mungkin, agar masih memiliki "modal" untuk melakukan tawar menawar.
Sun Quan sendiri menjadi bimbang dan ragu. Di satu pihak ia tidak terima 100.000 prajuritnya bakal di bawah perintah Cao Cao, di sisi lain ia juga gentar terhadap kekuatan militer Cao Cao, dan khawatir tidak sanggup menandinginya.
* Persekutuan Sun dan Liu Melawan Cao Cao
Pada saat Sun Quan dalam bimbang dan ragu, datanglah Zhuge Liang menemui Sun Quan di Dong Wu. Agar Sun Quan lebih teguh dalam mengambil keputusan melawan Cao Cao, maka ia menyiasiatinya dengan metode kejutan rangsangan. Begitu melihat Sun Quan, ia langsung saja menasehati Sun Quan agar menyerah kepada Cao Cao. Sun Quan balik bertanya kepada Zhuge Liang: "Junjungan Anda, mengapa tidak menyerah?" Zhuge Liang menjawab: "Majikan saya adalah ksatria zaman sekarang, bagaimana mungkin mau menyerah kepada Cao Cao?" Sun Quan menganggap Zhuge Liang menghinanya, dan ia pun langsung meninggalkan tamunya itu dan masuk ke dalam rumah, dengan jengkel mengibaskan kedua lengan bajunya yang panjang itu.
Lu Su mengetahui Zhuge Liang sengaja memancing amarah Sun, iapun bergegas mengejarnya sampai memasuki ruang dalam dan berkata kepada Sun Quan: "Zhuge Liang memiliki jurus pamungkas terhadap Cao Cao, maka sengaja melontarkan kata2 itu untuk merangsang Anda". Sun seketika tercerahkan, dengan segera keluar dari ruang dalam, meminta maaf kepada Zhuge Liang dan memohon petunjuk strategi jitu.
Maka Zhuge Liang membeberkan analisanya tentang situasi kala itu kepada Sun Quan. Ia menggaris-bawahi meski Cao Cao unggul dalam jumlah pasukan, namun kondisi perang yang berkepanjangan dan perjalanan yang jauh, diumpamakan bagai busur yang segera kehilangan kelenturannya. Pasukan Cao Cao yang berasal dari daerah utara, ditambah dengan suasana hati masyarakat Jing Zhou yang baru saja ditaklukkan, maka tak ada yang perlu ditakuti, asalkan Sun dan Liu bersatu-padu tanpa adanya pengkhianatan, pasti bisa mengalahkan Cao Cao.
Usulan Zhuge Liang menggerakkan hati Sun Quan, maka dipanggillah Zhou Yu, panglima pasukan air dari Po Yang (kini di daerah propinsi Jiang Xi), untuk merembukkan strategi besar.
Zhou Yu mendukung usulan Zhuge Liang dan Lu Su, selain itu ia juga menunjuk pasukan Cao Cao yang berasal dari Tionggoan (pusat kebudayaan dan geografis Tiongkok) yang diisukan memiliki 800.000 prajurit, pada kenyataannya hanya berjumlah tidak lebih dari 150.000 prajurit, ditambah lagi kondisi mereka sudah sangat kelelahan. Sun Quan demi memperkuat tekad persekutuannya dengan Liu dalam melawan Cao Cao, maka ia di tempat pertemuan tersebut menghunus keluar pedangnya, dan menebas putus sudut meja sambil berteriak: "Siapapun yang tidak menyetujui perang melawan Cao Cao, nasibnya akan sama dengan meja ini." Alhasil Sun Quan mengangkat Zhou Yu dan Cheng Pu sebagai panglima sayap kiri dan sayap kanan, dilengkapi dengan 30.000 pasukan elit, menyusuri sungai hingga Xia Kou untuk bergabung dengan pasukan Liu Bei yang berjumlah 20.000 orang lebih untuk bersatu melawan Cao Cao.
Pada bulan ke 10 tahun 208, pasukan gabungan Sun-Liu bergerak melawan arus sungai Yangtse ke arah barat dan bertemu dengan pasukan Cao Cao yang mengikuti arus di Chi Bi (Karang merah - selama ini terdapat beberapa teori dan pada umumnya lokasi tersebut diperkirakan berada di daerah barat laut Bu Yin propinsi Hu Bei kini, di pantai selatan sungai Yangtse), kedua pasukan itu saling serang, pada awalnya pasukan Cao Cao sempat terdesak, pasukan perintis mereka dikalahkan oleh tentara sekutu dan mundur ke Wu Lin yang terletak di pantai utara sungai Yangtse (kini di timur laut Hong Hu propinsi Hu Bei), kedua pihak berkonfrontasi dari kedua sisi sungai.
* Cao Cao Kalah, Tiongkok Terbagi Tiga
Tak lama kemudian, pasukan Cao Cao terjangkiti wabah penyakit, mereka yang berasal dari utara hanya mahir bertempur dari atas kuda. Sungai yang berombak dan kehidupan serba goyang di atas kapal, membuat pasukan Cao Cao tidur tak nyenyak makan tak selera; maka Cao Cao memerintahkan ratusan kapal perang me-reka dihubungkan satu sama lain dengan rantai besi yang pada ujungnya digembok untuk meredam ayunan ombak dan terpaan angin, agar lebih stabil.
Huang Gai salah seorang jenderal Zhou Yu, setelah mengetahui Cao Cao merangkai armada kapal mereka dengan rantai, maka mengusulkan siasat serangan api untuk mengalahkan pasukan musuh. Usul tersebut sejalan dengan pikiran Zhou Yu, maka dipilihlah "Menyerang dengan api, setelah kalut dihantam."
Bagaimana caranya serangan api? Harus merapat mendekati armada lawan baru dijamin berhasil, maka Zhou Yu merancang sebuah siasat dan dirundingkan secara rahasia dengan Huang Gai yakni Huang Gai seolah menyerah kepada Cao Cao. Agar Cao Cao percaya, Zhou Yu menggunakan "Siasat penyiksaan badan", yakni memukuli Huang Gai sampai badannya memar dan berdarah, kemudian Huang Gai mengirim surat tanda menyerah kepada Cao Cao. Anekdot populer "Zhou Yu memukul Huang Gai, yang satu rela memukul, yang lainnya rela dipukul" berasal dari kejadian tersebut.
"Siasat Penyiksaan Badan" oleh Huang Gai ternyata ampuh. Cao Cao tidak tahu kalau itu siasat belaka, hingga tiba hari pertemuan yang telah disepakati, Huang Gai membawa 10 buah kapal bermuatan penuh terisi rumput ilalang kering dan minyak, yang di bagian luarnya ditutupi dengan kain dan dikibarkan bendara tanda menyerah, melaju mengikuti arus angin ke arah armada Cao Cao. Bersamaan dengan itu Huang Gai mempersiapkan kapal cepat yang digantung di bagian belakang "Kapal kapitulasi", agar setelah membakar dapat dengan segera meloloskan diri. Ketika jarak dengan armada Cao Cao semakin dekat, Huang Gai memerintahkan setiap kapal untuk menyulut kapal masing-ma-sing.
Saat itu kebetulan sedang berhembus angin tenggara, armada Huang mengikuti arah angin sehingga kapal meluncur "secepat angin". Lantaran kapal-kapal perang yang saling terhubung dan terkunci serta saling mengekang satu sama lain itu lamban dalam gerak maju atau mundur, hanya mampu bergerak dengan kecepatan rendah, selain itu rantai dan gembok juga tak dapat dilepas dengan cepat, dengan api yang semakin mengganas di armada tersebut, dalam sekejap saja, armada Cao Cao menjadi lautan api, bahkan ikut pula membakar markas yang berada di daratan. Para prajurit dan kuda pasukan Cao Cao banyak yang mati tenggelam atau terpanggang, dan Cao Cao mengalami kerugian yang amat berat.
Kemudian armada utama pasukan sekutu Sun-Liu pada kesempatan tersebut menyeberangi sungai menerjang ke arah utara menyerbu pasukan Cao Cao yang telah mengalami kekalahan besar. Pasukan Cao Cao yang tersisa, menyusuri jalan setapak di propinsi Hu Bei dan mundur ke arah Jiang Ling. Ditambah dengan wabah penyakit dan kelaparan, pasukan Cao Cao mengalami kerugian separo. Cao Cao yang telah malang melintang di medan tempur selama 20 tahun belum pernah mengalami kekalahan separah ini.
Pasca perang Chi Bi, Cao Cao mundur ke utara, tidak lagi memiliki kekuatan invasi ke selatan. Liu Bei menempatkan tentaranya di Jing Zhou dan di bawah rencana strategi Zhuge Liang, berturut-turut ia menduduki empat provinsi, kemudian memperoleh pinjaman wilayah dari Sun Quan di Nan Jun, dan ia menduduki sebagian besar provinsi Jing Zhou. Pada 211 – 214, Liu Bei mengalahkan Liu Zhang (putra Liu Biao) dan menduduki Yi Zhou. Sun Quan masih terus mengontrol Jiang Dong (wilayah selatan hilir sungai Yangtse), dengan demikian terwujudnya situasi tiga Negara telah menjadi kenyataan.
Oh ya, bagi teman2 yg ingin mengetahui pertempuran bisa nonton film di DVD yaitu Judulnya "Red Cliff" 1-2 tak diragukan lagi bintang film terkenal, coba dech kalian nonton DVD nya. Di situlah bgm trik2 dalam pertempuran juga siasatnya...
Komentar :
Posting Komentar