Oleh : Rachmat Basuki Soeropranoto (rbs@operamail.com)
MUNGKIN tidak banyak diantara anak-anak muda sekarang yang kenal nama Kartika dan Thahir. Kedua nama itu sangat populer di tahun 1970-an. Kasus Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok, Cina Hoakiau kelahiran Nganjuk, telah membuktikan betapa lihainya sindikat para Hoakiau membodohi pejabat-pejabat tinggi kita, untuk menguras kekayaan rakyat Indonesia demi kepentingan mereka.
Kartika Ratna mula-mula diperkenalkan oleh Robin Loh kepada Thahir yang merupakan orang kepercayaan Ibnu Sutowo. Robin Loh adalah seorang Hoakiau dari Singapura yang dekat hubungannya dengan pejabat-pejabat Pertamina. Setelah melalui periode samen-laven, janda cantik itu kemudian menjadi penterjemah Thahir dalam perundingan-perundingan bisnis Pertamina. Ini berarti perempuan Hoakiau itu tahu betul rencana-rencana Pertamina, dari A sampai Z. Dengan sendirinya Robin Loh juga tahu persis setiap rencana Pertamina.
Mengingat pentingnya kedudukan Thahir, maka hubungan samen-laven diitingkatkan menjadi hubungan suami-isteri. Dengan demikian hasil-hasil komisi yang didapatkan Thahir dimasukkan ke dalam rekening bersama Thahir dan Kartika. Permainan subversi sindikat Hoakiau ini telah membuat orang penting macam Thahir hanya menjadi alat untuk keuntungan para Hoakiau semata-mata.
Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang diorbitkan oleh sindikat Hoakiau ini kemudian mempengaruhi Thahir dan pejabat Pertamina lainnya, untuk melakukan mark up terhadap kontrak-kontrak Pertamina, antara 15% sampai 100% dengan berbagai kontraktor asing. Ini berarti komisi yang diterima lebih banyak lagi.
Uang hasil komisi itu akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan permodalan sindikat Hoakiau. Kartika dan Thahir dengan uang komisi itu kemudian bekerja sama dengan Henry Kwee dan Liem Sioe Liong mendirikan perusahaan kontraktor bernama First Realty International Corporation of Singapore. Perusahaan Real Estate itu antara tahun 1973 dan 1975 kemudian menjadi pemborong proyek perumahan Pertamina Village dan Pertamina Tower, yang tentunya meraup keuntungan yang tidak sedikit.
Pada 23 Juli 1976 Thahir meninggal dunia. Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang ketika itu berada di Swiss, tidak berfikir untuk melayat suaminya di Jakarta, tetapi langsung terbang ke Singapura. Rekening-rekening bersamanya dengan Thahir di Chase Manhattan Bank dan The Hongkong & Shanghai Corporation sebesar US$ 45 juta dikuras habis tanpa sisa.
Watak agresif dan serakah semakin nampak ketika Kartika Ratna akan menguras hasil komisi di Bank Sumitomo sebesar DM 54 juta dan US$ 1,2 juta. Kartika menolak berbagi harta-waris dengan anak-anak Thahir. Karena itulah skandal Kartika-Thahir akhirnya terbongkar luas.
Kekuatan ekonomi para Hoakiau selama Orde Baru jauh lebih kuat dari masa penjajahan dulu, jauh lebih kuat dari masa pendudukan Jepang, jauh lebih kuat dari masa Orde Lama. Para Hoakiau itu selama Orde Baru melalui kerja-samanya dengan para pejabat tinggi Indonesia, telah berhasil menduduki apa yang disebut superior economic position yang tidak bisa digulingkan lagi.
Para Hoakiau dengan latar belakang kebudayaan yang agresif, ikatan darah yang sangat kuat, tradisi mengorganisasi diri secara sentral, naluri intelijen yang tajam, tradisi menyuap lawan, serta memiliki kesempatan-kesempatan yang diberikan Belanda, serta tidak adanya kesungguhan dari pemerintah RI untuk mengangkat peranan ekonomi kaum pribumi, menyebabkan expansi ekonomi para Hoakiau itu kian hari semakin maju ke arah jantung kehidupan ekonomi bangsa Indonesia.
Sepanjang Orde Baru para Hoakiau telah meajai berbagai bidang, seperti perbankan, perkayuan, sindikat beras dan gula, karet, semua bidang industri (penggilingan terigu, pabrik semen, pabrik rokok, pabrik tekstil dan batik, alat-alat rumah tangga, alat-alat kantor), perakitan mobil dan motor serta perlengkapan elektronik lainnya, perdagangan umum, kontraktor, pemasok, keagenan, pengangkutan barang dan jasa, ekspor-impor, real estate, bioskop, perhotelan, sampai dengan kebutuhan rumah tangga seperti bumbu masak, dan
sebagainya.
Tokoh-tokohnya yang terkenal, antara lain Soedono Salim alias Liem Sioe Liong, Yantje Harianto alias Yantje Liem, Suryadi alias Willy Liem Giok, Sutopo Yananto alias Yap Swie Kie, Arif Husni alias Ong Seng Keng, Nyoo Han Siang, Tong Djoe (Tunas Group), William Soeryadjaya alias Tjia Kian Liong, Tjia Kian Tie, Benyamin Soeryadjaya alias Tjia Kian Yoe, Yan Darmadi alias Foek Yoo Yan, Mas Agung Alias Tjio Wie Thay, Tjiputra, Agus Nursalim, Hendra Wijaya, Tjokro Sumarto alias Kwee Som Tjok, Sofyan Wanandi alias Liem Bian Koen, Paul Handoko alias Liem Po An, Robby Tjahjadi alias Sie Tjia Ie, dan banyak lagi.
Mengenai Robby Tjahjadi, yang telah diputus pengadilan bersalah dalam kasus penyelundupan, dan harus mendekam di Cipinang, ternyata ia tidak pernah merasakan "nikmatnya" berdomisili di Cipinang. Ketika itu hanya terlihat Abu Kiswo, seorang pejabat Bea & Cukai yang diperalat Robby Tjahjadi. Dengan kekuatan uangnya dan kedekatannya dengan petinggi, Robby tidak perlu repot-repot menjalani hukuman di Cipinang, ia cukup membeli "pedang" aparat
penegak hukum.
Tentunya tidak semua Cina Hoakiau bersikap merugikan, banyak juga yang cinta rakyat Indonesia dan membela tanah air serta meleburkan diri secara total. Kepada mereka tidak layak disebut Hoakiau tetapi saudara sebangsa dan se tanah air. Antara lain, mendiang Yap Thiam Hien, yang berani menegakkan keadilan hukum di Indonesia. Ada pula Haji Abdul Karim Oey, tokoh pembauran, Bapak Tjeng Hien (Direktur PT Bintang Tujuh), sesepuh PITI. Juga, Bapak HM Syafi'i Antonio, M.Sc., pakar keuangan Islam, dan banyak lagi lainnya.
Kekuatan para Hoakiau yang sedemikian kuat dan besar, tidak saja menimbulkan kecemburuan, namun pada akhirnya merugikan pemerintah itu sendiri. Orde Baru yang sudah begitu banyak memberikan "surga" kepada mereka, kenyataannya harus menerima kenyataan buruk, antara lain terjadinya pemberontakan ekonomi, terjadinya capital flight dan capital drain yang menyebabkan krisis dan kemelaratan secara nasional
Pemerintah, siapapun dia, sudah seharusnya belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Rakyat sudah cukup menderita dimpimpin oleh dua diktator. Semoga tidak akan muncul diktator ketiga dan seterusnya.
Diposting di milis tionghoa-net pada 15 November 1999
MUNGKIN tidak banyak diantara anak-anak muda sekarang yang kenal nama Kartika dan Thahir. Kedua nama itu sangat populer di tahun 1970-an. Kasus Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok, Cina Hoakiau kelahiran Nganjuk, telah membuktikan betapa lihainya sindikat para Hoakiau membodohi pejabat-pejabat tinggi kita, untuk menguras kekayaan rakyat Indonesia demi kepentingan mereka.
Kartika Ratna mula-mula diperkenalkan oleh Robin Loh kepada Thahir yang merupakan orang kepercayaan Ibnu Sutowo. Robin Loh adalah seorang Hoakiau dari Singapura yang dekat hubungannya dengan pejabat-pejabat Pertamina. Setelah melalui periode samen-laven, janda cantik itu kemudian menjadi penterjemah Thahir dalam perundingan-perundingan bisnis Pertamina. Ini berarti perempuan Hoakiau itu tahu betul rencana-rencana Pertamina, dari A sampai Z. Dengan sendirinya Robin Loh juga tahu persis setiap rencana Pertamina.
Mengingat pentingnya kedudukan Thahir, maka hubungan samen-laven diitingkatkan menjadi hubungan suami-isteri. Dengan demikian hasil-hasil komisi yang didapatkan Thahir dimasukkan ke dalam rekening bersama Thahir dan Kartika. Permainan subversi sindikat Hoakiau ini telah membuat orang penting macam Thahir hanya menjadi alat untuk keuntungan para Hoakiau semata-mata.
Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang diorbitkan oleh sindikat Hoakiau ini kemudian mempengaruhi Thahir dan pejabat Pertamina lainnya, untuk melakukan mark up terhadap kontrak-kontrak Pertamina, antara 15% sampai 100% dengan berbagai kontraktor asing. Ini berarti komisi yang diterima lebih banyak lagi.
Uang hasil komisi itu akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan permodalan sindikat Hoakiau. Kartika dan Thahir dengan uang komisi itu kemudian bekerja sama dengan Henry Kwee dan Liem Sioe Liong mendirikan perusahaan kontraktor bernama First Realty International Corporation of Singapore. Perusahaan Real Estate itu antara tahun 1973 dan 1975 kemudian menjadi pemborong proyek perumahan Pertamina Village dan Pertamina Tower, yang tentunya meraup keuntungan yang tidak sedikit.
Pada 23 Juli 1976 Thahir meninggal dunia. Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang ketika itu berada di Swiss, tidak berfikir untuk melayat suaminya di Jakarta, tetapi langsung terbang ke Singapura. Rekening-rekening bersamanya dengan Thahir di Chase Manhattan Bank dan The Hongkong & Shanghai Corporation sebesar US$ 45 juta dikuras habis tanpa sisa.
Watak agresif dan serakah semakin nampak ketika Kartika Ratna akan menguras hasil komisi di Bank Sumitomo sebesar DM 54 juta dan US$ 1,2 juta. Kartika menolak berbagi harta-waris dengan anak-anak Thahir. Karena itulah skandal Kartika-Thahir akhirnya terbongkar luas.
Kekuatan ekonomi para Hoakiau selama Orde Baru jauh lebih kuat dari masa penjajahan dulu, jauh lebih kuat dari masa pendudukan Jepang, jauh lebih kuat dari masa Orde Lama. Para Hoakiau itu selama Orde Baru melalui kerja-samanya dengan para pejabat tinggi Indonesia, telah berhasil menduduki apa yang disebut superior economic position yang tidak bisa digulingkan lagi.
Para Hoakiau dengan latar belakang kebudayaan yang agresif, ikatan darah yang sangat kuat, tradisi mengorganisasi diri secara sentral, naluri intelijen yang tajam, tradisi menyuap lawan, serta memiliki kesempatan-kesempatan yang diberikan Belanda, serta tidak adanya kesungguhan dari pemerintah RI untuk mengangkat peranan ekonomi kaum pribumi, menyebabkan expansi ekonomi para Hoakiau itu kian hari semakin maju ke arah jantung kehidupan ekonomi bangsa Indonesia.
Sepanjang Orde Baru para Hoakiau telah meajai berbagai bidang, seperti perbankan, perkayuan, sindikat beras dan gula, karet, semua bidang industri (penggilingan terigu, pabrik semen, pabrik rokok, pabrik tekstil dan batik, alat-alat rumah tangga, alat-alat kantor), perakitan mobil dan motor serta perlengkapan elektronik lainnya, perdagangan umum, kontraktor, pemasok, keagenan, pengangkutan barang dan jasa, ekspor-impor, real estate, bioskop, perhotelan, sampai dengan kebutuhan rumah tangga seperti bumbu masak, dan
sebagainya.
Tokoh-tokohnya yang terkenal, antara lain Soedono Salim alias Liem Sioe Liong, Yantje Harianto alias Yantje Liem, Suryadi alias Willy Liem Giok, Sutopo Yananto alias Yap Swie Kie, Arif Husni alias Ong Seng Keng, Nyoo Han Siang, Tong Djoe (Tunas Group), William Soeryadjaya alias Tjia Kian Liong, Tjia Kian Tie, Benyamin Soeryadjaya alias Tjia Kian Yoe, Yan Darmadi alias Foek Yoo Yan, Mas Agung Alias Tjio Wie Thay, Tjiputra, Agus Nursalim, Hendra Wijaya, Tjokro Sumarto alias Kwee Som Tjok, Sofyan Wanandi alias Liem Bian Koen, Paul Handoko alias Liem Po An, Robby Tjahjadi alias Sie Tjia Ie, dan banyak lagi.
Mengenai Robby Tjahjadi, yang telah diputus pengadilan bersalah dalam kasus penyelundupan, dan harus mendekam di Cipinang, ternyata ia tidak pernah merasakan "nikmatnya" berdomisili di Cipinang. Ketika itu hanya terlihat Abu Kiswo, seorang pejabat Bea & Cukai yang diperalat Robby Tjahjadi. Dengan kekuatan uangnya dan kedekatannya dengan petinggi, Robby tidak perlu repot-repot menjalani hukuman di Cipinang, ia cukup membeli "pedang" aparat
penegak hukum.
Tentunya tidak semua Cina Hoakiau bersikap merugikan, banyak juga yang cinta rakyat Indonesia dan membela tanah air serta meleburkan diri secara total. Kepada mereka tidak layak disebut Hoakiau tetapi saudara sebangsa dan se tanah air. Antara lain, mendiang Yap Thiam Hien, yang berani menegakkan keadilan hukum di Indonesia. Ada pula Haji Abdul Karim Oey, tokoh pembauran, Bapak Tjeng Hien (Direktur PT Bintang Tujuh), sesepuh PITI. Juga, Bapak HM Syafi'i Antonio, M.Sc., pakar keuangan Islam, dan banyak lagi lainnya.
Kekuatan para Hoakiau yang sedemikian kuat dan besar, tidak saja menimbulkan kecemburuan, namun pada akhirnya merugikan pemerintah itu sendiri. Orde Baru yang sudah begitu banyak memberikan "surga" kepada mereka, kenyataannya harus menerima kenyataan buruk, antara lain terjadinya pemberontakan ekonomi, terjadinya capital flight dan capital drain yang menyebabkan krisis dan kemelaratan secara nasional
Pemerintah, siapapun dia, sudah seharusnya belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Rakyat sudah cukup menderita dimpimpin oleh dua diktator. Semoga tidak akan muncul diktator ketiga dan seterusnya.
Diposting di milis tionghoa-net pada 15 November 1999
sumber : http://tionghoa-net.blogspot.com
Komentar :
Posting Komentar