translate languages

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

5 Sep 2012

Sabriye Tenberken, Pendiri Braille Without Borders

Ketika usianya 2 tahun, orangtua Sabriye Tenberken menemukan kenyataan bahwa penglihatan anaknya pelan-pelan berkurang. Kemampuan melihat anak perempuan ini terus memburuk. Dan mereka tahu, suatu saat anaknya pasti akan buta oleh suatu penyakit yang mereka tak tahu.
Sebelum penglihatannya benar-benar hilang kedua orangtuanya mengajak Sabriye pergi ke museum, bertamasya ke sejumlah tempat yang dipenuhi aneka warna, dan sebagainya. Maksud orangtuanya, agar ia bisa menyimpan memorinya dengan begitu indah. Saat usianya menginjak 13 tahun Sabriye benar-benar mengalami kebutaan. Tetapi, “Saya punya banyak rekaman visual yang tersimpan di kepala,” katanya suatu ketika.

Sabriye yang lahir di Cologne, Jerman tahun 1970, sekolah di sebuah sekolah bergengsi khusus untuk kalangan tunanetra. Meski begitu sekolahnya mengajarkan hidup normal bagi para muridnya. Misalnya, diajarkan juga bagaimana mengendarai kuda, bermain ski, cross-country, kayak, dan sebagainya. Tentu saja sebatas yang aman bagi mereka.

Suatu kali ia mengunjungi Nepal bersama ibunya. Dari sana ia mengunjungi Tibet untuk beberapa saat. Meski sebentar saat di Tibet ia menemukan kenyataan bahwa orang buta di sana, menurutnya, diperlakukan seperti orang terkutuk, diasingkan seperti penderita lepra. Mereka tak disediakan tempat belajar, hidupnya terkurung di dalam kamar, sendirian, tanpa pendidikan, tanpa hiburan, dan tanpa pelatihan keterampilan tertentu.

Pengalaman singkat itu begitu membekas di hatinya dan membangkitkan keinginan luar biasa untuk mengajar anak-anak buta Tibet. Ia berharap, anak-anak buta di Tibet juga suatu saat kelak bisa memiliki kehidupan penuh, tidak malu atau merasa cacat. Mereka seharusnya bisa hidup sepenuhnya seperti dirinya.

Setelah lulus SMA Sabriye melanjutkan sekolah ke Bonn University dan mengambil bidang studi tentang kebudayaan Asia Tengah. Ia juga belajar kebudayaan bangsa Mongol, China modern, dan Tibet, terutama sosiologi dan filosofinya. Ia belajar bahasa Tibet karena keinginan kuatnya pergi ke sana lagi.

Di universitas di program tersebut dialah satu-satunya yang buta. Dan karena itu ia merasa kesulitan mencari literatur tentang Tibet yang sudah ditulis dalam tulisan Braille. Untuk itu ia harus bekerja keras membuat sistem sendiri dalam tulisan Braille. Tak hanya itu, ia juga menggagas membuat tulisan Braille dalam tulisan Tibet. Sistem Braille untuk tulisan Tibet ini selesai ia buat pada tahun 1992.

Tahun 1997 ia sendirian pergi ke Tibet untuk melakukan observasi kira-kira apa yang harus ia lakukan untuk mewujudkan niatnya itu. Tahun 1998 ketika ia kembali ke Tibet ia mendirikan pusat pendidikan untuk orang buta di Lhasa, ibukota Tibet. Pusat pendidikan ini diawali dengan lima orang anak tunanetra dan Sabriye sendiri yang mengajar. Namun lama-lama ia bisa mendidik murid-muridnya untuk kemudian jadi guru di sana.


Kegiatan itu bukan tanpa rintangan. Pada awalnya ia dianggap mengambil keuntungan dari orang-orang buta di Tibet. Namun lama-lama orang memahami bahwa apa yang dilakukannya hanya karena ingin membuat orang buta di Tibet menjalani hidup lebih layak. Kini Sabriye tak hanya menggagas pendidikan kaum buta di Tibet tapi juga di seluruh dunia. Apalagi setelah ia mendirikan lembaga bernama Braille Without Borders pada tahun 2002.

sumber  : brightconscience

maspeypah
  • Digg
  • Facebook
  • Google
  • StumbleUpon
  • TwitThis

Artikel Menarik Lainnya



Komentar :

ada 0 comment ke “Sabriye Tenberken, Pendiri Braille Without Borders”

Posting Komentar