Suatu ketika orang-orang menanyakan kepadanya: "Anda telah mencapai sebuah prestasi yang luar biasa, menyelesaikan secara tuntas penyakit polio yang telah menganiaya umat manusia dengan semena-mena, setelah mendapatkan prestasi yang sedemikian luar biasa, bagaimana pendapat Anda tentang 200 kali kegagalan yang Anda alami sebelumnya?"
Professor Salk lalu menjawab: "Seumur hidup ini, saya tidak pernah merasa telah mengalami 200 kali kegagalan. Di dalam kamus keluarga kami tidak terdapat ungkapan kata "gagal". 200 kali percobaan sebelumnya telah menambah pengalaman saya, membuat saya mempelajari banyak hal. Kenyataannya adalah saya telah melakukan penemuan sebanyak 201 kali. Tanpa adanya pembelajaran sebanyak 200 kali sebelumnya, tidak mungkin saya bisa mendapatkan hasil sekarang ini."
Kisah tersebut di atas membuat saya teringat pada sebuah percobaan dalam ilmu jiwa. Di dalam percobaan ini, ada sekelompok anjing gagal melakukan tugas yang sederhana, lalu bagaimana bisa muncul ungkapan gagal dalam "kamus" anjing tersebut?
Dalam percobaan, ada sebuah kurungan yang sangat besar, dasar kurungan tersebut terbuat dari besi. Di tengah-tengah kurungan itu terdapat pagar pemisah besi, kurungan tersebut dipisah menjadi dua bagian.
Anjing dimasukan ke dalam paruh bagian kurungan, lalu bawah kurungan dialiri dengan listrik, anjing mendapatkan kejutan aliran listrik, akan merasakan sakit menusuk yang cepat dan tajam.
Sebagian dari anjing tersebut setelah mendapatkan kejutan aliran listrik, dengan sangat cepat sekali mereka melompat ke paruh bagian kurungan yang lain, untuk menghindari kejutan aliran listrik. Ketika paruh bagian yang lain dari kurungan itu dialiri oleh listrik, anjing-anjing tersebut akan melompat kembali ke paruh kurungan dengan santai, melompat ke bagian kurungan yang tidak beraliran listrik.
Tugas mereka sangat sederhana, seiring dengan perubahan bagian yang dialiri listrik, anjing-anjing tersebut melompat ke sana kemari di dalam kurungan, berbolak-balik melompat untuk menghindari kejutan listrik. Karena itu kurungan tersebut juga disebut dengan istilah shuttle box.
Tetapi, ada sekelompok anjing yang lain, ketika mereka menerima sengatan listrik di dalam shuttle box, mereka sama sekali tidak melakukan gerakan melompat dan meronta, seluruh tubuh hanya bisa bergemetaran dan merintih dengan perlahan, menunjukkan tampang kegagalan yang patut dikasihani. Mengapa anjing-anjing tersebut bisa menunjukkan tampang menyedihkan dan membiarkan dirinya teraniaya oleh orang lain?
Ternyata para ahli psikolog tersebut sebelum memasukkan anjing-anjing ini ke dalam shuttle box, mereka sudah melakukan pengendalian seperti ini: anjing-anjing tersebut diikat pada tiang besi, lalu secara berkala disetrum dengan listrik untuk merangsang mereka. Setelah menerima sengatan listrik mereka akan meronta, melompat dan mengerang, tetapi tidak peduli bagaimana mereka meronta-ronta, tidak bisa terhindar dari siksaan tersengat oleh aliran listrik.
Setelah melewati beberapa hari dan puluhan kali sengatan aliran listrik serta meronta-ronta yang tidak berguna, anjing-anjing tersebut akhirnya melepaskan usaha mereka, ketika mereka mendapatkan sengatan aliran listrik lagi, mereka hanya bisa merangkak di atas tanah, sekujur tubuh mereka bergemetaran, serta merintih dengan perlahan, mereka sudah tidak meronta-ronta lagi.
Pada saat itu anjing-anjing tersebut dimasukkan lagi ke dalam shuttle box. Untuk melakukan gerakkan sederhana melompat menghindar dari sengatan aliran listrik mereka juga pasrah.
Anjing yang gagal: sebelumnya ia tidak berhasil untuk melepaskan diri dari tiang, tetapi "kegagalan dirinya" telah membuatnya pasrah dan mengira dia juga tidak akan bisa melompati pagar. Ia telah melanggar "kesalahan logika", tidak melanjutkan "studi penyelidikan" lebih lanjut.
Masih ada lagi, kita semua tahu gajah yang bertenaga besar di dalam dunia hewan, setelah mengalami pelatihan dari manusia, menggunakan seutas tali mengikatkan tubuh gajah tersebut pada tiang yang rapuh dia juga tidak akan meronta, mengapa?
Ternyata dalam proses pelatihan gajah tersebut, para pelatih menggunakan rantai besi untuk mengikat tubuh gajah tersebut pada tiang besi yang sangat kokoh. Pada awalnya gajah yang masih liar masih belum terlatih ini akan meronta-ronta sekuat tenaga, namun walau sekuat apa mereka meronta juga percuma saja. Saat itu para pelatih gajah melakukan pelatihan dan melayani gajah tersebut dengan lembut, akhirnya gajah tersebut melepaskan diri untuk tidak meronta, serta bisa mempelajari teknik sirkus melayani manusia.
Boleh dikatakan bahwa walaupun gajah-gajah dalam sirkus ini sudah mencapai suatu keberhasilan yang luar biasa, namun mereka dalam menghadapi "nasib" tidak akan bisa meronta lepas dari ikatan (tidak peduli tali dan tiangnya seberapa besar atau kecil). Mereka telah menganggap diri mereka gagal dalam hal mencoba melepaskan diri dari ikatan.
Manusia sudah tentu lebih pandai daripada anjing dan gajah, ketika manusia dikurung di suatu tempat, tidak peduli sebelumnya sudah mengalami berapa banyak kegagalan, tetapi mereka akan terus berpikir dan berusaha untuk meloloskan diri serta tak henti-hentinya muncul cara-cara yang baru. Bukankah banyak orang yang bersusah payah mengalami ancaman kehilangan nyawa hanya untuk meloloskan diri dari penjara yang penjagaannya sangat ketat? Tetapi pada situasi yang lain, apakah manusia juga bisa seperti contoh anjing dan gajah di atas yang menganggap dirinya telah mengalami nasib "kegagalan"?
Orang yang menggali sumur, akan memperkirakan seberapa dalam galian yang harus dilakukan agar keluar air, setiap galian yang masih tidak terlihat keluarnya air, hal tersebut bagi penggali merupakan pukulan. Dengan melewati beratus dan beribu kali pukulan yang demikian ini, dia akan menganggap dirinya lagi sial, dia akan menganggap dirinya telah salah memilih tempat, "meleset", mengomel dan hengkang dari tempat itu, akhirnya ada orang yang lain datang ke tempat yang telah ditinggalkan oleh orang terdahulu, mungkin orang tersebut hanya membutuhkan beberapa galian lagi sudah bisa mendapatkan minuman air sumur yang manis.
Siswa yang kurang pandai, akan dengan sepenuh hati mengharapkan bisa menyenangkan gurunya. Karena siswa tersebut sering dimarahi oleh gurunya, oleh karena memang dasar siswa tersebut kurang, walaupun siswa tersebut berusaha seberapa keras pun tidak akan berhasil mendapatkan raut senang wajah gurunya, pada akhirnya siswa tersebut akan menganggap keterbelakangan dirinya sebagai suratan takdir, melepaskan untuk berusaha, bahkan berjalan pada jalur salah, mengacau sana sini.
Orang yang malu-malu tidak pandai bergaul, ketika dia berhubungan dengan orang lain, selalu mendapatkan sambutan yang dingin, selalu merasakan dirinya tidak nyaman, selalu murung, dan akhirnya menganggap semua ini adalah "nasib". Ia lalu mengarungi hidup menyendiri, mulai menghindarkan diri dari semua orang............
Hal-hal yang serupa, banyak sekali contohnya, tetapi mereka semua mempunyai satu kesamaan, yakni peran utama dari kejadian itu, merasa dirinya sudah tidak berdaya, merasa putus asa, menganggap mau tidak mau harus dilepaskan, karena mereka merasa dirinya gagal dalam masalah itu.
Bercerita sampai di sini, mungkin Anda juga sudah mendapatkan kesimpulan, yakni apa yang disebut dengan kegagalan itu. Sebenarnya kegagalan adalah suatu perasaan yang timbul dari diri sendiri, adalah perasaan putus asa yang timbul karena tindakan kita mengalami hambatan yang berkali-kali sewaktu kita sedang dalam proses menuju ke tujuan akhir kita. Itu adalah diri kita yang sedang memelihara "macan kertas" dalam hati sendiri.
Menghadapi "macan kertas" yang tumbuh ganas dan menakutkan, jika Anda tidak memukulnya dia tentu tidak akan jatuh dengan sendirinya. Di dalam perjalanan untuk maju ke depan, mungkin kita bisa berbuat kesalahan, mungkin juga bisa berjalan di jalan berkelok, mungkin jarak dengan tujuan kita semakin menjauh, tetapi semua ini adalah hasil dan pengalaman yang sangat berharga, adalah termasuk salah satu dari 200 kali penemuan yang dikatakan oleh Profesor Salk.
Jika kita mau melangkah maju selangkah untuk mencoba dan berusaha, maka kesalahan semula yang kita buat merupakan tangga bagi kita untuk maju ke depan. Tetapi jika setelah mengalami kegagalan lalu timbul kecurigaan dan keraguan terhadap kemampuan kita atau menganggapnya "nasib", timbul perasaan gagal, ingin melepaskan usaha keras kita, maka saat itu kita sudah benar-benar mengalami kegagalan.
Maka dari itu ada tokoh besar yang mengatakan, "Kegagalan adalah ibu dari keberhasilan." Jika hanya dilihat dari arti permukaan kata-kata ini, saya kurang setuju. Saya pikir jika diganti dengan cara lain untuk menyatakan kata-kata ini mungkin bisa lebih baik, yakni: kesalahan dan terus mencoba adalah ibu dari keberhasilan, sedangkan gagal hanya suatu perasaan dari diri sendiri, semacam perasaan putus asa.
Dalam dunia obyektif, tidak ada yang disebut kegagalan, kegagalan hanya eksis didalam hati orang yang gagal. (Luo Bin/The Epoch Times/lin)
sumber : era baru
Komentar :
Posting Komentar