translate languages

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

18 Mei 2012

Paradoks Ambisius

Ambisius, itu kata-kata yang melekat dengan diri saya, dilabeli oleh si mama.

Saya memang cukup keras kepala untuk masalah pilihan hidup. Bagi saya, tidak ada kompromi sama sekali untuk hidup saya. Apa yang saya mau, saya inginkan, harus saya dapatkan.

Dulu, saya bisa dengan berani mencemooh orang dengan jalan pikiran yang tidak sesuai dengan saya, tidak segan-segan saya berkonfrontasi dengannya. Intinya ya debat kusir, saya keras kepala dan mereka juga keras kepala.

Saya dulu percaya, bahwa apa yang saya mau harus saya dapatkan dengan perjuangan, dengan keras kepala tentunya. Tidak jarang juga hasilnya tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Kecewa? Tentu.

Hingga akhirnya suatu titik, disaat kekecawaan saya bertubi-tubi, yang saya rasakan hanya lelah. Walaupun kalau hasilnya berhasil, yang ada hanya kesenangan sesaat, karena kemudian pasti saya dihadapkan lagi dengan masalah ya lain. Senang sebentar, kemudian kembali misuh-misuh. Alur kehidupan saya seperti rollercoster, naik turun, dan rasanya melelahkan.

Lama-lama saya belajar, hidup seperti ini rasanya capek. Saya hanya bisa bersenang-senang sesaat lalu kembali misuh-misuh, kenapa saya tidak bisa bersenang-senang terus?

Kemudian saya belajar untuk tidak berharap, karena tadi, kalau harapan saya tercapai saya pasti senang, selesai harapan itu tercapai dan dihadapi masalah lagi, pasti saya kembali misuh-misuh, lingkaran setan kata diri saya. Oke.. saya tidak akan berharap apapun, saya akan menjalani hidup berlalu, bagaikan air.

Ketika saya mencoba untuk tidak berharap, yang saya rasakan hidup saya seperti tidak memiliki tujuan. Saya seperti berjalan di kerumunan tanpa tau mau kemana. Saya tidak bertanya kepada siapapun. Yang ada saya melangkahkan kaki hingga kemana pun saya tidak tahu.

Stop! Ini bukan kehidupan saya! Saya tidak akan pernah menjadi besar dengan cara ini!

Saya bertanya pada diri saya, apa yang salah dengan diri saya? Saya menjadi ambisius, salah. Menjadi orang yang go with the flow, salah.

Ada satu kata yang mengganggu saya selama hidup, ketika menjadi sangat ambisius, kata-kata itu saya benci. Rasanya seperti orang lemah saja menurut saya. Dulu saya sangat yakin, bahwa kehidupan kita itu yang menentukan kita sendiri. Saya meyakini hal itu dalam-dalam. Mendengar kata “itu” membuat saya alergi. “Maaf.. saya tidak selemah itu”.

Ikhlas, itu kata yang dulu membuat saya cukup alergi. Rasa-rasanya tidak jantan sekali dengan kata itu menurut saya dulu. Bagi saya ikhlas hanya digunakan ketika kita akan menyumbang atau bersedekah, selain itu kata tersebut tidak cocok digunakan untuk perjuangan hidup. Itu menurut saya dulu.

Saya ternyata lupa, kalau dulu saya pernah membuktikan kata itu. Dulu, ketika saya masih kecil, dengan berbagai keinginan saya, saya bisa saja meraung-raung nangis memaksa orang tua saya. Saya memang anak bungsu dan saya yakin pasti permintaan saya akan ditanggapi. Tapi waktu itu dengan keinginan saya yang besar akan suatu benda, saya tidak gunakan kebiasaan saya, meraung-raung. Saya berbeda dengan saya biasanya, saya hanya memandangi barang yang saya suka, tersenyum dan dalam hati saya berkata “Kalau dibelikan ini sama mama, sepertinya menyenangkan yah…”, saya ikhlaskan keinginan saya.

Dan ternyata, keinginan saya terkabul tanpa saya perlu meminta dulu kepada orang tua saya.

Ikhlas. Kata yang dulu saya sangat benci, sekarang sedang saya coba tanam dalam-dalam di hati saya. Saya masih belajar dengan kata ikhlas itu.

Saya belajar bahwa memiliki keinginan itu bagus, membuat kita memiliki arah dalam kehidupan. Terlalu berharap keras dengan terwujudnya keinginan itu hanya akan membuat kita sendiri lelah, untuk pengimbangnya adalah ikhlas.

maspeypah
  • Digg
  • Facebook
  • Google
  • StumbleUpon
  • TwitThis

Artikel Menarik Lainnya



Komentar :

ada 0 comment ke “Paradoks Ambisius”

Posting Komentar